Harapan pada Pemerintah


Dalam sesi silaturahmi Idulfitri bersama keluarga dan sahabat, terdapat banyak cerita yang mengemuka. Yang paling sering saya dengar adalah kisah tentang betapa sulitnya kondisi ekonomi saat ini. Ada yang bercerita tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami, sulitnya mendapatkan pekerjaan meskipun sudah melamar ke berbagai tempat, beratnya biaya pendidikan, serta ketidakpastian kondisi ekonomi.

Bahkan tukang bubur langganan yang biasa saya temui pasca-Lebaran kemarin pun mengeluh bahwa selama setahun terakhir dagangannya tidak seramai biasanya. Tahun ini, ia belum bisa pulang kampung untuk berlebaran. Raut wajahnya terlihat sedih saat bercerita tentang kondisi yang ia hadapi.

Jika menyimak pemberitaan maupun obrolan dari berbagai pihak, kita menyaksikan betapa suara rakyat saat ini seolah kurang didengar oleh para wakil rakyat yang sudah dipilih. Ketimpangan hadir di mana-mana. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terjun bebas, nilai tukar rupiah menembus Rp17.000 per dolar AS (per 6 April 2025, inilah.com), sementara PHK bukan lagi sekadar cerita, tetapi kenyataan. Jeritan kesulitan ekonomi menghiasi banyak pemberitaan. Menjelang Lebaran, demonstrasi rakyat yang menuntut agar pemerintah lebih mendengarkan suara mereka pun semakin sering terjadi. Namun, seperti yang kita saksikan bersama, suara-suara tersebut seolah hanya lewat begitu saja.

Suara Rakyat yang Terabaikan

Baru-baru ini, Undang-Undang TNI disahkan meskipun mendapat penolakan keras dari elemen masyarakat sipil. Meski berbagai kalangan menyampaikan keberatan, baik akademisi maupun organisasi sipil, pemerintah dan DPR tetap bergeming. Suara jernih dari rakyat seperti mengambang di udara. Meaningful participation—yang seharusnya menjadi nyawa dari demokrasi—nampak absen. Diskursus publik atas isu-isu krusial seolah tenggelam.

Sebagai negara yang berlandaskan pada sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, situasi tersebut tentu terasa kontras. Kata-kata sakti dalam Pancasila itu seakan menjadi semu. Padahal, anak-anak didik di sekolah selalu diajarkan bahwa negara ini demokratis, dipimpin oleh mereka yang bijak, dan bekerja demi kesejahteraan umum. Namun realitasnya tak seindah teks di buku pelajaran.

Demokrasi yang Melemah

Apakah demokrasi Indonesia baik-baik saja? Jika kita melihat Democracy Index dari Economist Intelligence Unit, jawabannya: tidak. Tahun 2014, skor Indonesia berada di angka 6,59. Sepuluh tahun kemudian, di 2024, angkanya turun menjadi 6,44. Indeks ini menilai berbagai aspek, seperti kualitas pemilu, kebebasan sipil, partisipasi politik, serta fungsi pemerintahan.

Yang perlu menjadi sorotan: fungsi pemerintahan dalam bertindak atas nama rakyat. Jika kita melihat kondisi saat ini, seolah pemerintah lebih banyak melewati suara rakyat ketimbang menyerapnya sebagai pijakan dalam membuat kebijakan. Hal ini menjadi preseden buruk bagi pendidikan politik, terutama untuk kalangan muda.

Kekecewaan Anak Muda

Sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi, anak-anak muda Indonesia belajar tentang pentingnya meneladani Pancasila. Mereka diajarkan bahwa dalam demokrasi, nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, dan partisipasi harus dijunjung tinggi. Namun, pada kenyataannya, yang mereka lihat di ruang publik justru ketimpangan, intoleransi, dan lemahnya keadilan sosial.

Anak-anak muda dihadapkan pada imaji Indonesia berdaulat, adil dan makmur. Juga akan meraih bonus demografi dan menggapai Indonesia Emas. Tapi di ruang aktual mereka melihat perundungan yang menggejala, kasus mental health yang semakin tinggi, ketimpangan yang hadir,  dan korupsi yang menggila. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik saja, orang tua mereka harus berjibaku mengeluarkan peluh dan air mata. Setelah lulus, mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan layak sebab kualifikasi dan jaringan yang dimiliki tak cukup memadai untuk masuk ke pasar kerja. Apalagi bukan cerita baru bahwa “kenalan orang dalam” lebih diutamakan ketimbang keterampilan yang mereka miliki.

Beban itu semakin terasa ketika angka PHK terus meningkat. Di Jawa Timur, sepanjang 2024 tercatat 8.394 pekerja terkena PHK (jawapos.com, 17/1/2025). Secara nasional, 60 perusahaan tekstil dan produk tekstil tutup akibat badai PHK (bisnis.com, 9/3/2025). Kabar-kabar semacam ini tentu membuat kecemasan tentang masa depan kian menjadi-jadi.

Pemerintah Harus Mendengar

Menghadapi situasi ini, kita berharap pemerintah hadir dengan kebijaksanaan, bukan hanya kekuasaan. Pemerintah yang ideal adalah yang bisa menangkap suara rakyat dan meresponsnya secara bertahap dan berkelanjutan. Tidak semua harus diselesaikan sekaligus, tapi masyarakat menanti bukti bahwa upaya perbaikan benar-benar dilakukan.

Layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan mestinya menjadi prioritas. Kekecewaan terhadap pengelolaan negara bukanlah sesuatu yang bisa disepelekan. Setiap hari, berita buruk seolah lebih mendominasi daripada kabar baik. Kita menyaksikan BBM yang dioplos, minyak goreng yang kurang takarannya, kasus judi online yang merajalela, hingga kekerasan oleh aparat negara. Sementara rakyat setia membayar pajak, bekerja keras, dan menjaga moralitas, para elite justru memperlihatkan gaya hidup mewah secara vulgar di media sosial. Sikap ini terasa mencemooh rakyat.

Menunaikan Amanah Demokrasi

Rakyat tentu berharap pada para pemimpin yang mereka pilih secara demokratis. Namun harapan itu acap kali kandas karena pengkhianatan dari para elit sendiri. Demokrasi tidak hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga soal pemimpin yang mau mendengarkan. Demokrasi bukan hanya sekadar prosedur, tetapi substansi yang harus dihidupi setiap hari: penghargaan terhadap suara rakyat.

Tentu kita semua masih berharap. Harapan itu belum mati. Tapi harapan tak bisa terus dibiarkan melayang di udara. Ia harus ditangkap oleh pemerintah dan dijadikan pijakan untuk bekerja. Bukan untuk sekadar tampil atau menjaga kekuasaan, melainkan untuk menyelesaikan masalah nyata yang dihadapi rakyatnya—hari ini, dan bukan esok yang entah datang atau tidak.