Market

Harga Komoditas Meroket, Berkahnya untuk Oligarki, Deritanya Jatah Rakyat

Harga komoditas dunia naik sejak pertengahan 2020. Namun, bukan rakyat kecil mayoritas yang menikmati berkah alam itu. Namun hanya oligarki dan penguasa saja.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Prof Anthony Budiawan bilang. ada keanehan terkait kenaikan naik di tengah resesi ekonomi yang melanda dunia, di tengah pandemi, dan terus naik hingga kini.

Menjelang akhir 2021, menurut catatan PEPS, harga minyak sawit mentah mencapai rekor tertinggi. Harga rata-rata bulanan Oktober 2021 mencapai 1.310 dolar AS per ton, tertinggi sepanjang sejarah.

Sedangkan harga batu bara juga mencatat rekor tertinggi. Harga Batubara Acuan (HBA) Februari 2022 mencapai 188,38 dolar AS per ton. “Tertinggi sepanjang sejarah. Padahal Harga Batubara Acuan September 2020 hanya 49,42 dolar AS per ton,” paparnya kepada Inilah.com, Jakarta, Kamis (10/2/2022).

Dia bilang, rakyat Indonesia seharusnya bersyukur, dan senang, atas kenaikan harga komoditas ini. Karena, Indonesia merupakan salah satu eksportir minyak sawit dan batu bara terbesar dunia. Di samping juga karet alam.

Memang, kata dia, pemerintah terdengar sangat senang. Bahkan bangga. Dolar AS mengalir deras ke republik ini. Kenaikan harga komoditas di-klaim sebagai keberhasilan (pemerintah). Boleh-boleh saja. Meskipun semua pihak paham, keberhasilan ini mayoritas akibat kenaikan harga komoditas.

Pemerintah memang patut senang. Bagaimana tidak, surplus neraca perdagangan meroket. “Mencapai 35,3 miliar dolar AS untuk tahun 2021. Tertinggi sejak 2007 yang mencatat surplus sebesar 39,6 miliar dolar AS. Juga akibat harga komoditas yang tinggi ketika itu,” ungkapnya.

Realisasi penerimaan negara (APBN) juga meningkat tajam pada 2021, mencapai Rp2.003,1 triliun, atau 14,1 persen di atas target. Atau 21,6 persen di atas realisasi penerimaan negara tahun 2020. Cukup menggembirakan.

Yang juga terlebih senang adalah para pengusaha oligarki. Mereka bahkan lebih senang dari pemerintah. Karena dolar komoditas yang mengalir ke Republik ini sebenarnya milik mereka. “Milik sekelompok kecil oligarki. Meskipun komoditas tersebut dihasilkan dari lahan negara, yang notabene adalah lahan rakyat juga. Tetapi, dolarnya dimiliki oleh para pengusaha oligarki. Negara hanya dapat uang kecil dari pajak dan non-pajak,” papar Prof Anthony.

Kisah menggembirakan ini, kata dia, hanya berlaku bagi pemerintah dan pengusaha oligarki. Tidak bagi rakyat yang malah mendapat derita dan nestapa. Rakyat mendapat derita dari kenaikan harga komoditas yang diproduksi di tanah milik negara, di tanah milik rakyat (daerah).

Bayangkan, PLN sebagai perusahaan listrik milik negara, dan milik rakyat, hampir saja kehabisan persediaan Batubara. Kalau itu terjadi, listrik bisa padam. Rakyat akan menderita.

Karena, menurut cerita, harga pembelian Batubara oleh PLN relatif rendah, dipatok 70 dolar AS per ton. Jauh lebih rendah dari harga internasional, atau HBA pemerintah yang sudah mencapai di atas 150 dolar AS per ton, per September 2021. “Perbedaan harga ini membuat pengusaha oligarki lebih suka menjual barangnya di pasar internasional. Sehingga PLN kelimpungan mendapat pasokan,” ungkapnya.

Untuk masalah ini, lanjutnya, sudah dicarikan jalan keluarnya. Menurut rumor, PLN nanti akan diwajibkan membeli batu bara dengan harga pasar internasional. Kalau ini terjadi, tarif listrik PLN bisa naik. Menambah derita rakyat.

Kenaikan harga minyak sawit juga membuat rakyat menderita. Harga minyak goreng melesat, melewati Harga Eceran Tertinggi (HET) kemasan sederhana yang ditetapkan Rp11.000 per liter terlewati. Tetapi, tidak ada sanksi. Harga minyak goreng bahkan sempat mencapai lebih dari Rp20.000 per liter.

Derita rakyat masih berlanjut. Harga minyak goreng kemudian ditetapkan paling mahal Rp14.000 per liter. Katanya, disubsidi. Hal ini, perlu diapresiasi. Tapi sayangnya barang sering kali kosong. Pembelian juga dibatasi. Subsidi benaran atau pencitraan?

Anehnya, lanjut Prof Anthony, subsidi minyak goreng ini diambil dari dana BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Tentu saja jumlah dana ini terbatas. Di samping, dana ini seharusnya digunakan untuk peremajaan perkebunan kelapa sawit. “Lalu, bagaimana mekanisme pertanggung jawaban subsidinya? Siapa yang bertanggung jawab kalau minyak goreng kosong? Chaos,” ungkapnya.

Seyogyanya, lanjut Prof Anthony, kalau mau serius, subsidi minyak goreng, dan juga subsidi listrik, diambil dari APBN. Bukankah penerimaan negara APBN melesat akibat kenaikan harga komoditas?

Kenaikan ini seharusnya dikembalikan kepada rakyat, dalam bentuk subsidi akibat kenaikan harga komoditas ini. Antara lain, subsidi minyak goreng. Bukan untuk membangun yang lain, seperti kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Penderitaan rakyat semakin lengkap dengan kenaikan pajak pertambahan nilai pada April mendatang.

“Namun, di lain sisi, pengusaha oligarki (dan pemerintah) sedang bergembira, berpesta dolar komoditas. Di atas nestapa rakyat. Inilah kisah ironi di Nusantara, rakyat sengsara di negeri kaya komoditas, di tengah meroketnya harga dunia,” pungkas Prof Anthony.

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button