Market

Harga Pertalite Naik, yang Miskin Makin Miskin

Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM jenis Pertalite berpeluang melambungkan inflasi dan memperlebar kesenjangan. Apalagi, konsumsi masyarakat belum pulih ke level sebelum pandemi. Yang miskin pun semakin miskin.

“Jika melihat data penjualan mobil dan motor kuartal I-2022, itu mencerminkan terjadinya kesenjangan. Penjualan mobil sudah meningkat tapi penjualan motor masih lebih rendah dibandingkan dengan sebelum pandemi,” kata Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia dalam webinar ‘Quarterly Review 2022: Menghadang Inflasi Menuju Kondisi Pra-Pandemi’ di Jakarta, Selasa (19/4/2022).

Mungkin anda suka

Harga Pertalite Naik, yang Miskin Makin Miskin - inilah.comDok: CORE Indonesia

Penjualan mobil mengalami kenaikan menjadi 264 ribu unit pada kuartal I-2022. Angka tersebut lebih tinggi ketimbang sebelum pandemi COVID-19 di kuartal I-2020 sebesar 237 ribu unit. Bandingkan dengan penjualan motor yang mencapai 1,26 juta unit pada kuartal I-2022 ketimbang kuartal yang sama di 2020 yang mencapai 1,57 juta unit. “Artinya, daya beli kelas atas sudah kembali ke sebelum Pandemi sedangkan kelas bawah belum,” tuturnya.

Faisal menegaskan, untuk beberapa sektor belum pulih atau kembali ke level sebelum pandemi. Kesenjangan tersebut terjadi lantaran inflasi yang dipicu oleh oleh kenaikan gas LPG sebelumnya. “Kesenjangan itu akan semakin parah jika pemerintah benar-benar menaikkan harga Pertalite di 2022,” ucap Faisal tandas.

Ia menjelaskan, inflasi pra-Pandemi berada di level 3%. Dalam hitung-hitungan Faisal, dengan kenaikan harga BBM jenis Pertalite ke Rp9.000 per liter dari Rp7.650 saat ini, berpotensi mengerek naik inflasi mencapai 5% hingga 5,5% untuk full year 2022.

“Ini jelas akan memperlebar kesenjangan antara kelompok atas dengan kelompok bawah,” timpal dia. “Jadi, ada perbedaan nasib yang signfikan antara kelas menengah dengan kelas bawah. Yang miskin dari sisi daya beli mereka makin miskin.”

Kesenjangan Harus Jadi Perhatian Pemerintah

Kondisi tersebut, kata dia, perlu menjadi perhatian dan pertimbangan pemerintah. Pemerintah jangan hanya melihat faktor agregat Produk Domestik Bruto (PDB), tapi juga isu kesenjangan di dalamnya.

“Secara riil kesenjangan itu terlihat dari antrean Ibu-Ibu berebut minyak goreng murah, bahkan ada yang meninggal. Sedangkan untuk kelas atas, kenaikan harga minyak goreng hingga Rp50 ribu tak terlalu masalah,” tukas Faisal.

Lebih jauh ia menjelaskan proyeksi PDB Indonesia dari CORE Indonesia untuk kuartal I-2022. Angkanya berada di kisaran 4,5% hingga 5%. Sementara untuk full year angkanya masih sama dengan proyeksi sebelumnya di kisaran 4-5%.

“Namun, meski angka proyeksi tersebut masih sama, kisaran tersebut memiliki makna yang berbeda,” tuturnya.

Sebelumnya, kata Faisal, pertumbuhan terdorong oleh konsumsi rumah tangga. Sekarang yang menjadi pendorongnya adalah kinerja ekspor yang besar. “Jadi, lebih terpicu oleh faktor eksternal,” ucapnya.

Di lain sisi, konsumsi rumah tangga saat ini, kata dia, belum mengalami full swing. Belum lagi dengan aspek distribusi dan lain-lain. “Disparitas antara pulihnya kinerja ekspor dan konsumsi rumah tangga yang belum pulih juga menunjukkan kesenjangan,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button