Kanal

Dunia Harus Meningkatkan Tekanan terhadap Rezim Iran

Apa yang membuat sebuah revolusi berhasil? Sederhananya revolusi disebut berhasil jika segalanya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tetapi sebagian besar revolusi berakhir dengan bencana dan kesengsaraan seperti yang terjadi di Timur Tengah. Bagaimana dengan yang terjadi di Iran?

Jika revolusi gagal, tentu akan meninggalkan warisan kehancuran dan ketidakpercayaan. Jika ternyata revolusi menang, juga akan menciptakan kehancuran dan ketidakpercayaan baru. Jadi, apakah revolusi itu gagal atau berhasil, tidak ada akhir dari penindasan. Kesengsaraan kembali datang dengan topeng yang berbeda.

Mungkin anda suka

Dr John Jenkins, peneliti senior di Policy Exchange yang juga mantan duta besar Inggris untuk Arab Saudi, dalam tulisannya di Arabnews, mengungkapkan, beberapa contoh dalam sejarah sistem negara Arab modern tentang revolusi.

Ia memaparkan, melihat sejarah Bakr Sidqi pada 1936 hingga Rashid Ali Al-Gailani di 1941 dan Husni Al-Zaim pada 1949 hingga ‘Free Officers’ di Mesir, penghancuran monarki di Irak, kembalinya Ba’ath yang berdarah di Irak dan Suriah, Libya pada 1969 atau Sudan satu generasi kemudian, setiap kudeta militer dan revolusi menyebabkan represi kekerasan, pengawasan yang kejam, ketidakmampuan ekonomi dan hilangnya kebebasan. “Ini bukan sistem politik tetapi paksaan, politik adalah sandiwara,” ungkap Dr Jenkins.

Banyak orang mengingat dengan penyesalan apa yang hilang dari mereka setelah revolusi. Banyak orang tua di Irak yang lebih suka mengenang kembali periode monarki sebelum 1958. Demikian pula orang tua Mesir akan mengingat Wafd, Mesir Muda, atau kaum Sa’ad di bawah monarki yang benar-benar berarti secara politis bagi rakyat, dalam perjuangan bersama mereka melawan kontrol kolonial Inggris.

Sementara bagi kaum muda, Musim Semi Arab atau Arab Spring yang menjanjikan akan membuat politik bermakna kembali, nyatanya berakhir dengan cara yang sama. Harapan yang kecewa dan impian yang pupus.

Dr Jenkins memaparkan, hanya ada tiga revolusi di Timur Tengah modern yang berhasil membangun dan memunculkan pengecualian politik yang baru. Ketiganya yakni penghapusan Mustafa Kemal Ataturk atas kekhalifahan Utsmaniyah pada 1924, penggulingan Qajar oleh Reza Shah Pahlavi pada 1925 serta Ayatollah Khomeini dalam pengusiran putra Reza Shah pada tahun 1979.

Baik Ataturk maupun Pahlavi melakukan hal-hal yang baik, memodernisasi pendidikan, pertanian, dan ekonomi serta meningkatkan kebebasan sosial. Turki Ataturk dibangun di atas fondasi yang kokoh. Sementara Iran Pahlavi tidak. Dan sekarang penerusnya, Republik Islam Iran, yang dinyatakan Khomeini sebagai cahaya bagi bangsa-bangsa, pejuang massa yang menderita dan mercusuar kebenaran, juga telah berakhir.

Demonstrasi besar di Iran

Yang paling hangat saat ini terjadi adalah kelanjutkan revolusi di Iran. Protes berkelanjutan di negara itu hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Dr Majid Rafizadeh, pakar politik Iran-Amerika lulusan Harvard, menilai, Iran menghadapi salah satu pemberontakan paling kritis pada 2022. Demonstrasi nasional ini dipicu kematian Mahsa Amini berusia 22 tahun pada September lalu di tangan polisi moralitas.

“Kematiannya menyebabkan mobilisasi hampir nasional dan gerakan perempuan yang kuat melawan kemapanan teokratis,” ungkap Dr Rafizadeh, yang juga mengungkapkan pendapatnya di Arabnews.

Orang-orang di seluruh dunia menyaksikan adegan perempuan menantang melepas jilbab mereka dan memotong rambut mereka di depan umum, serta orang banyak meneriakkan ‘wanita, hidup, kebebasan’. Media sosial membantu mengedarkan gambar pembangkangan perempuan Iran terhadap pasukan rezim. Majalah Time bahkan menyebut para wanita Iran sebagai pahlawan.

Tekanan Rezim Iran

Dr Rafizadeh menambahkan, protes mengguncang 31 provinsi Iran dan menjadi sangat politis, dengan orang-orang meneriakkan ‘Matilah diktator’, ‘Matilah (Pemimpin Tertinggi Ali) Khamenei’, ‘Kita semua Mahsa, perang dan kita akan melawan’, ‘Tahun ini adalah satu tahun pengorbanan’, ‘Kebebasan, kebebasan, kebebasan’, ‘Dari Kurdistan hingga Teheran, saya mengorbankan hidup saya untuk Iran’, dan ‘Guru yang dipenjara harus dibebaskan’.

Akibat aksi-aksi ini, kekhawatiran di kalangan pejabat Iran meningkat karena kekuasaan mereka terancam. Ali Khamenei, yang memiliki keputusan akhir atas semua kebijakan utama dalam dan luar negeri Iran, mendukung pasukan keamanan dan polisi, sambil menginstruksikan untuk menindak keras para pengunjuk rasa. Dia menyebut para demonstran sebagai ‘preman, perampok dan pemeras’. Dan dia menyatakan: “Mereka yang memicu kerusuhan untuk menyabotase negara layak mendapat tuntutan dan hukuman yang keras.”

Rezim mengerahkan kekuatan brutal skala penuh untuk menekan para pengunjuk rasa, termasuk anak-anak dan perempuan. “Penguasa mulai mengeksekusi pengunjuk rasa dan mengajukan tuduhan ambigu terhadap mereka, seperti ‘moharebeh’ (permusuhan terhadap Tuhan), membahayakan keamanan nasional pemerintah, berusaha menggulingkan pemerintah, dan bersekongkol dengan ‘musuh’ dan orang asing,” tambahnya.

Laporan dari organisasi nonpemerintah Hak Asasi Manusia Iran yang berbasis di Oslo menyatakan bahwa, dalam protes anti-rezim baru-baru ini, 326 orang tewas dan 15.000 ditangkap. Eksekusi sudah dimulai.

Menurut Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, beberapa sumber menyatakan bahwa sebanyak 23 anak telah dibunuh dan banyak lainnya terluka di setidaknya tujuh provinsi akibat peluru tajam, pelet logam dari jarak dekat, dan pemukulan yang fatal. Sejumlah sekolah juga digerebek, dan anak-anak ditangkap aparat keamanan.

Beberapa kepala sekolah juga dilaporkan ditangkap karena tidak bekerja sama dengan aparat keamanan. Pada 11 Oktober, menteri pendidikan mengonfirmasi bahwa sejumlah anak yang tidak disebutkan jumlahnya telah dikirim ke ‘pusat psikologi’ setelah mereka ditangkap karena diduga berpartisipasi dalam protes anti-negara.

Menentukan penerus Khamenei

Peristiwa penting yang sebenarnya ditunggu-tunggu adalah ketika Republik Islam itu memilih penerus Khamenei. Jika penerus itu bisa menjanjikan perubahan sejati menjadi lebih baik, tidak ada yang menginginkan revolusi. Berbeda jika penerus yang akan datang menjanjikan lebih banyak represi. “Seperti yang baru-baru ini dikatakan oleh seorang teman Iran kepada saya, kapal negara tetap mengapung tetapi kelelahan telah terjadi,” Dr Jenkins kembali menguraikan.

Hanya sedikit yang dapat dilakukan orang luar untuk ikut membentuk sejarah negeri ini. Semuanya harus dilakukan oleh orang Iran sendiri. Tetapi kita perlu memastikan bahwa dunia memperhatikannya. Terlalu sering kita penonton terpesona saat protes meletus dan kemudian, dalam beberapa minggu, melupakannya dan beralih ke hal lain.

Dunia perlu terus menekan rezim. “Kita perlu terus-menerus menyoroti kejahatan rezim di forum internasional. Yang lebih penting adalah menghentikan kemampuan rezim untuk merusak dan mengendalikan rakyat dan tetangganya,” imbuh Dr Jenkins.

Dunia juga perlu memastikan untuk memperhatikan apa yang orang Iran sendiri katakan baik di dalam maupun di luar negeri dan tidak tergoda oleh kelompok kepentingan yang berpura-pura sebagai reformis tetapi bertindak sebagai kaki tangan Khamenei.

Yang jelas, pemberontakan dan penentangan nasional terhadap rezim kemungkinan besar akan berlanjut. Komunitas internasional harus menunjukkan lebih banyak dukungan untuk rakyat Iran, dalam melawan upaya rezim Iran.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button