Hasto Jangan Membodohi Publik, Perkara Tipikor tak Melulu soal Kerugian Negara


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah klaim Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang menyatakan dirinya tidak bisa ditetapkan sebagai tersangka karena tak menyebabkan merugikan keuangan negara.

Juru bicara KPK Tessa Mahardhika menjelaskan, tindak pidana korupsi tidak selalu berkaitan dengan kerugian negara, melainkan juga mencakup suap serta beberapa jenis korupsi lainnya. Pernyataan ini disampaikan untuk meluruskan persepsi masyarakat terkait narasi yang dibangun oleh terdakwa korupsi Hasto.

“Untuk masyarakat ketahui, selain korupsi dalam hal merugikan negara, lalu suap dan beberapa jenis korupsi lainnya, di dalam proses penyidikan kita mengetahui dan sudah beberapa subjek hukum yang telah dilakukan penyidikan, dituntut, dan divonis,” ujar Tessa dalam program “Tanya Jubir KPK” di Instagram @official.KPK, Rabu (26/3/2025).

Tessa menambahkan, salah satu unsur tindak pidana korupsi yang disangkakan kepada Hasto adalah perintangan penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sementara itu, pasal yang mengatur kerugian negara terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

“Ya, perintangan penyidikan, lebih khususnya penyidikan jadi tingkat penyidikan, penuntutan, sampai dengan persidangan itu bisa kena,” ucapnya.

Dia juga mengingatkan, masyarakat agar tidak mencoba melakukan tindak pidana korupsi, terutama dalam bentuk perintangan penyidikan. Jika tetap dilakukan, mereka bisa bernasib sama seperti Hasto karena terdapat jerat hukum yang jelas.

“Jadi ini menjadi awareness yang kita harapkan bagi masyarakat yang tahu dan ada pihak-pihak yang mencoba untuk membujuk atau mempengaruhi, tolong dong apa segala macam itu ya, ada ancaman pidananya di situ,” tambahnya.

Hasto diketahui kerap membangun narasi bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi karena tidak merugikan keuangan negara. Salah satu contohnya terjadi ketika ia membacakan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat pada Jumat (21/3/2025).

Dalam eksepsinya, Hasto menegaskan bahwa kasus yang menjeratnya tidak memenuhi syarat kerugian negara minimal Rp1 miliar, sehingga seharusnya berada di luar kewenangan KPK.

“Kasus ini tidak melibatkan kerugian negara minimal Rp1 miliar, sehingga jelas di luar kewenangan KPK. KPK tidak memiliki dasar hukum untuk menangani kasus ini,” tegas Hasto dalam eksepsinya yang dibacakan di pengadilan, Jumat (21/3/2025).

Ia juga menyoroti bahwa UU KPK No. 19 Tahun 2019 secara tegas mengatur bahwa KPK hanya dapat menangani kasus korupsi yang menyangkut kerugian negara minimal Rp1 miliar.

“Dalam kasus ini, tidak ada kerugian negara yang mencapai Rp1 miliar. Oleh karena itu, KPK tidak memiliki kewenangan untuk menangani kasus ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hasto mengklaim bahwa kasusnya lebih berkaitan dengan dinamika politik internal partai, sehingga seharusnya diselesaikan secara internal tanpa campur tangan KPK.

“Ini adalah kasus yang seharusnya diselesaikan secara internal partai, bukan oleh KPK. KPK telah melampaui kewenangannya dengan menangani kasus ini,” katanya.

Hasto juga mengutip Pasal 11 UU KPK No. 19 Tahun 2019, yang menurutnya membatasi kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi dengan kerugian negara minimal Rp1 miliar.

“Pasal ini jelas-jelas mengatur batasan kewenangan KPK. Namun, dalam kasus ini, KPK justru melampaui kewenangannya,” tegasnya.

Selain itu, ia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa penegakan hukum harus proporsional dan sesuai dengan ketentuan undang-undang.

“KPK tidak boleh menangani kasus yang tidak memenuhi syarat kerugian negara. Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip proporsionalitas dalam penegakan hukum,” ujarnya.

Hasto menilai bahwa tindakan KPK yang tetap menangani kasusnya tidak hanya merugikan dirinya secara pribadi, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.

“Jika KPK bisa menangani kasus yang tidak memenuhi syarat kerugian negara, maka ini akan menciptakan ketidakpastian hukum dan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik,” tambahnya.

Sebelumnya, dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat (14/3/2025), Hasto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa perintangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Jaksa menyebut Hasto berperan dalam memerintahkan Harun Masiku untuk menenggelamkan ponselnya saat operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2020 serta memerintahkan Kusnadi untuk membuang ponselnya.

Selain itu, Hasto juga didakwa terlibat dalam pemberian suap kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Suap senilai Rp600 juta itu diberikan bersama-sama oleh advokat PDIP Donny Tri Istiqomah, kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio.

Menurut jaksa, suap tersebut bertujuan agar Harun Masiku dapat ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).

Perbuatan Hasto didakwa sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.