Kenaikan harga barang benar-benar membuat sulit kehidupan kelas menengah. Sedangkan kelas bawah, masih tertolong beragam program bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Untuk bertahan hidup, kelas menengah terpaksa makan tabungan alias mantab.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah mengingatkan pemerintah lebih memperhatikan kelompok menengah demi menjaga konsumsi domestik dalam menopang pertumbuhan ekonomi.
“Pertumbuhan ekonomi selalu bergantung pada konsumsi domestik, tapi itu terancam menurun seiring dengan turunnya kelas menengah Indonesia. Sejak enam tahun lalu, jumlah kelas menengah kita turun 8 juta jiwa. Padahal merekalah sebenarnya kelas penggerak konsumsi domestik,” ujar Said, Jakarta, Selasa (27/8/2024).
Dalam Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (RAPBN) 2025, pemerintah mengusulkan target pertumbuhan ekonomi 2025, sebesar 5,2 persen.
Target ini cukup berat lantaran Said mencatat, Indonesia hanya sekali melampaui angka itu. Yakni pada 2022, angka pertumbuhan ekonomi tembus 5,31 persen.
“Karena, perkara struktural menjadi faktor yang membuat Indonesia sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi. Ekonomi berbiaya tinggi, ketidakpastian hukum, hingga kualitas sumber daya manusia (SDM) juga disebut sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Untuk itu, ia mendorong pemerintah agar lebih progresif menyelesaikan berbagai persoalan struktural yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Ketua Banggar merekomendasikan agar pemerintah berfokus menjaga konsumsi domestik dengan inflasi yang bertahan pada level rendah, investasi yang menopang pembukaan lapangan kerja baru, serta memberikan nilai tambah atas produk ekspor.
“Setidaknya kita membutuhkan kontribusi investasi minimal 1,5 persen, dan ekspor 0,5 persen sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi tiap tahun. Dengan demikian, tulang punggung permintaan bukan hanya konsumsi domestik,” ujar dia.
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen pada RAPBN 2025, lebih tinggi dari proyeksi tahun ini sebesar 5,1 persen.
Inflasi dipatok pada level 2,5 persen, nilai tukar rupiah Rp16.100 per dolar AS, SBN 10 tahun 7,1 persen, harga minyak mentah Indonesia (ICP) 82 dolar AS per barel, lifting minyak 600 ribu barel per hari, dan gas bumi 1,005 juta barel setara minyak per hari.
Terkait kelas menengah, Sri Mulyani menyatakan kebijakan pemerintah telah menopang berbagai kelompok masyarakat, mulai dari kelompok miskin hingga kelas menengah, terutama dalam program perlindungan sosial (perlinsos) pada APBN.
Program perlinsos memberikan berbagai dukungan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako, subsidi energi, hingga pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN). Ini menandakan perlindungan sosial tidak hanya kepada kelompok miskin dan rentan, tapi juga hingga kelas menengah, menurut Sri Mulyani.
Sementara, ekonom senior yang mantan menteri keuangan era SBY, Chatib Basri mengatakan, fenomena ‘mantab’ menunjukkan potensi pelemahan konsumsi di masa depan.
Saat ini, masyarakat kelas menengah ke bawah mulai mengurangi konsumsi yang sifatnya sekunder serta tersier. Mereka juga mulai memprioritaskan belanja yang sifatnya primer.
“Jadi konsumsinya adalah makanan. Artinya kita bisa lihat adanya tekanan pada konsumsi,” kata Chatib.
Pandangan Chatib itu terkonfirmasi dari deflasi selama 3 bulan berturut-turut pada tahun ini. Yakni, deflasi Mei sebesar 0,03, deflasi Juni 0,08 dan deflasi Juli 0,18. Ini bukan kabar baik, justru buruk karena menunjukkan masyarakat mengurangi belanja. Sehingga terjadi penurunan harga alias deflasi.
Chatib menyebutkan, diperlukan kebijakan insentif yang dapat menjaga daya beli masyarakat. Langkah pemerintah untuk mengeluarkan sejumlah bantuan sosial (bansos) sudah tepat dalam rangka menjaga daya beli masyarakat, khususnya kelompok terbawah.