Hidup Pasca-PPN: Beban Hidup Makin Pelik, Tak Bisa Pula Bayar Netflix


Seperti berjalan di atas tali tipis, kelas menengah bawah di Indonesia kini menghadapi ancaman baru: kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada awal 2025. Bagi mereka, ini bukan sekadar kenaikan pajak, melainkan tamparan yang semakin menekan di tengah biaya hidup yang terus melonjak.

Bagi Vina Tri Syahyuti, pekerja swasta di Jakarta, kebijakan ini bukan sekadar angka di atas kertas. Kenaikan PPN berarti harus merombak anggaran rumah tangganya yang sudah ketat. Langganan hiburan seperti Netflix dan Spotify, yang sebelumnya menjadi pelarian dari stres, kini menjadi kemewahan yang harus dilepas. 

“Saya harus alihkan uangnya untuk makan. Hiburan nanti saja,” tuturnya dengan pasrah.

Kenaikan ini tidak hanya berdampak pada kebutuhan sehari-hari. Bagi Vina, bahkan biaya dapur yang naik akibat pajak baru terasa seperti gunung yang semakin sulit didaki. Dan ia tahu, cerita ini bukan hanya miliknya. Ada jutaan Vina lain di seluruh Indonesia yang merasakan hal serupa.

Dampak Domino: Dari Konsumen ke Dunia Usaha

Kenaikan PPN 12 persen ini juga menjadi momok bagi pelaku usaha. Perusahaan tempat Vina bekerja, yang bergerak di bidang corporate solutions, merasakan tekanan untuk menyesuaikan harga dengan tarif pajak baru.

“Kalau perusahaan besar saja kewalahan, bagaimana dengan UMKM yang modalnya kecil?” ujar Vina, yang khawatir akan masa depan pekerjaannya.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperkuat kekhawatiran ini. Pada kuartal III-2024, pertumbuhan ekonomi nasional melambat ke 4,95 persen, sementara konsumsi rumah tangga, yang menjadi penggerak utama ekonomi, hanya tumbuh 4,91 persen. 

Dengan kenaikan pajak ini, daya beli masyarakat dipastikan semakin tertekan, menciptakan efek domino yang menghantam dunia usaha dan ekonomi secara keseluruhan.

Otomotif, Hiburan, dan Kemewahan yang Ditunda

Sektor otomotif, yang selama ini menjadi salah satu penggerak ekonomi, juga terpukul. Menurut Rafif Eka Putra, seorang reviewer otomotif, konsumen akan menahan diri dari membeli mobil baru akibat kenaikan PPN. 

“Orang akan lebih memilih mobil bekas, atau bahkan tidak membeli sama sekali,” katanya. Hal ini membuat upaya industri otomotif untuk bangkit pasca-pandemi semakin sulit.

Tak hanya itu, sektor hiburan dan gaya hidup juga terkena dampaknya. Vina, yang dulu menganggap hiburan sebagai pelepas penat, kini terpaksa mengorbankannya.

 “Hidup sudah sulit, sekarang kita dipaksa untuk lebih hemat lagi,” keluhnya.

Desakan untuk Menunda Kebijakan

Para pengamat dan anggota DPR mendesak pemerintah untuk menunda atau bahkan membatalkan kenaikan PPN ini. Anthony Budiawan dari Political Economy and Policy Studies (PEPS) menilai, pemerintah seharusnya lebih kreatif dalam mencari solusi penerimaan pajak, misalnya dengan meningkatkan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha besar dan menekan praktik penghindaran pajak.

UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sebenarnya memberikan fleksibilitas kepada pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPN antara 5 hingga 15 persen. Dengan demikian, menunda kenaikan menjadi 12 persen bukanlah hal yang mustahil.

Kelas Menengah yang Terhimpit

Bagi Vina, kenaikan PPN ini hanyalah tambahan dari rangkaian kesulitan hidup yang sudah panjang. 

“Harapan saya, pemerintah mendengar suara kami. Kalau kebijakan ini terus berjalan, kita hanya bisa bertahan sambil terus berhemat,” katanya, penuh kekhawatiran.

Kenaikan PPN bukan sekadar keputusan fiskal. Ini adalah pukulan langsung bagi kehidupan jutaan orang yang sudah bergulat dengan tekanan ekonomi. Jika pemerintah tidak segera meninjau ulang kebijakan ini, kelas menengah bawah seperti Vina akan semakin terhimpit dalam lingkaran kesulitan yang tak berujung. Hidup mereka yang sudah seperti jatuh tertimpa tangga, kini harus menerima tambahan meja yang menggencet dari atas.