Market

Hindari Krisis seperti Sri Lanka, Utang Jokowi Harus Cuan Cepat 

Krisis ekonomi yang melanda Sri Lanka memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia. Pelajaran dari Republik Sosialis Demokratis itu adalah utang jangka pendek Pemerintahan Jokowi harus memberikan cuan dalam waktu cepat.

Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata mengatakan, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Sri Lanka relatif rendah di level batas toleransi 60%. “Akan tetapi, yang perlu diperhatikan juga adalah kapabilitas dari anggaran negara serta efisiensi pemanfaatan dari ULN (Utang Luar Negeri),” katanya kepada Inilah.com di Jakarta, Selasa (26/4/2022).

Secara teori, lanjut Josua, penggunaan utang negara jangka pendek sebaiknya digunakan untuk pembangunan yang dapat memberikan imbal hasil secara cepat baik finansial maupun ekonomi.

“Hal ini berfungsi agar tidak terjadi mismatch dalam pembiayaan,” ujarnya.

Kasus krisis dari Sri Lanka, menurut dia, mencerminkan ketidaksesuaian alias mismatch. Pemerintah Sri Lanka belum mampu mendapatkan imbal hasil dari utang luar negerinya. “Hal ini perlu menjadi perhatian dari pemerintah Indonesia dalam hal efisiensi belanja negara,” ucap Josua mewanti-wanti.

Penularan Krisis

Sementara dari sisi penularan krisis, lebih jauh ia mengungkapkan kemungkinannya ke Indonesia yang relatif rendah. “Ini terutama karena keterkaitan finansial maupun perdagangan antar kedua negara cenderung terbatas,” papar dia.

Tidak hanya itu, probabilitas penularan krisis yang rendah juga karena peringkat (rating) utang di antara kedua negara berbeda. “Sejak tahun 2020, rating Indonesia lebih baik ketimbang Sri Lanka, baik menurut Fitch, Moody’s, maupun S&P,” tuturnya.

Pada awal 2022, lembaga pemeringkat, Moody’s, kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating atau peringkat utang luar negeri Indonesia pada peringkat Baa2, satu tingkat di atas investment grade, dengan prospek stabil.

Begitu juga dengan Fitch Rating yang tahun lalu mempertahankan peringkat kredit Indonesia pada posisi BBB outlook stable. Standard and Poor’s (S&P) melakukan hal serupa dengan mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB meskipun dengan outlook negatif pada 22 April 2021.

Perbedaan rating tersebut, Josua menegaskan, memberikan sinyal bahwa kondisi fundamental perekonomian Indonesia relatif lebih baik. “Di atas kertas risiko Indonesia lebih rendah ketimbang Sri Lanka,” ungkap Josua.

Dengan rating yang berbeda tersebut, portfolio investor asing untuk Indonesia dan Sri Lanka memiliki basket yang berbeda. “Kondisi ini berbeda dengan kondisi 2018, di mana nilai tukar rupiah juga ikut melemah. Ini akibat terseret krisis Afrika Selatan, Turki, dan Argentina saat itu,” ucapnya.

“Dengan kecilnya keterkaitan ekonomi, perbedaan rating, dan juga fundamental ekonomi, maka kemungkinan Indonesia terkena limpahan krisis cukup rendah.”

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button