Hujan Angin dan Banjir Perburuk Kondisi Pengungsi Gaza

Hujan deras disertai angin kencang yang terjadi sepanjang Selasa (12/12/2023) menambah buruk kondisi para pengungsi di Gaza. Kini mereka meringkuk berdesak-desakan di tenda yang rapuh dan terendam banjir.

Di tengah meningkatnya kekurangan pangan, penyebaran gelombang penyakit menular, dan hampir runtuhnya sistem kesehatan di Gaza, badai musim dingin mengubah sebagian besar wilayah menjadi lumpur dan membuat banyak dari mereka yang tidur di tenda plastik darurat menjadi basah kuyup.

Situasi kemanusiaan yang memburuk dengan cepat terjadi ketika perang udara dan darat Israel –setelah serangan Hamas pada 7 Oktober– telah memaksa hampir 85 persen dari 2,5 juta penduduk Gaza meninggalkan rumah mereka.

Di pemukiman sementara di Rafah yang terletak di lahan berpasir dipenuhi sampah, orang-orang berusaha memulihkan diri dari malam yang mengerikan, membawa ember pasir untuk menutupi genangan air di dalam atau di luar tenda mereka, dan menggantungkan pakaian yang basah.

Beberapa keluarga mempunyai tenda yang layak, namun ada juga yang menggunakan terpal atau plastik tipis tembus pandang yang dibuat untuk melindungi barang-barang dibandingkan untuk menyediakan tempat berlindung bagi orang-orang. Banyak tenda yang tidak memiliki alas, sehingga orang-orang menghabiskan malamnya dengan meringkuk di pasir basah.

Aziza al-Shabrawi tampak berusaha mengeluarkan air hujan dari tenda yang dihuni keluarganya. Ia menunjuk kedua anaknya yang hidup dalam kondisi memprihatinkan.

“Anak laki-laki saya sakit karena kedinginan dan anak perempuan saya tidak memakai alas kaki. Kami seperti pengemis. Tidak ada yang peduli dan tidak ada yang membantu,” kata wanita berusia 38 tahun itu seperti dilansir Al Jazeera, Kamis (14/12/2023).

Yasmin Mhani mengatakan ia terbangun di malam hari dan mendapati anaknya yang berusia tujuh bulan basah kuyup. Keluarganya yang terdiri dari lima orang berbagi satu selimut setelah rumah mereka dihancurkan serangan udara Israel dan mereka kehilangan salah satu anak mereka, serta semua harta benda mereka.

“Rumah kami hancur, anak kami menjadi syahid dan saya tetap menghadapi semuanya. Ini adalah tempat kelima yang harus kami tempati, mengungsi dari satu tempat ke tempat lain, dengan hanya mengenakan kaos,” katanya, sambil menggantungkan pakaian basah di luar tenda.

Terlihat juga Ramadan Mohadad, seorang pria paruh baya yang sedang berusaha memperbaiki tempat berlindung keluarganya yang terbuat dari potongan kayu lapis dan lembaran plastik tipis.

“Kami berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi diri kami sendiri agar air tidak masuk namun hujan masuk… Plastik ini tidak melindungi orang yang tidur di bawahnya,” katanya.

Robekan terlihat di tempat penampungan plastik milik keluarga lain, dan beberapa di antaranya menunjukkan genangan air di dalamnya. Sebuah keluarga telah memasang balok semen di pintu masuk yang berfungsi sebagai semacam bendungan, serta batu bata kecil di dalamnya yang tampak seperti batu loncatan.

Di tempat lain, cuplikan video pendek yang dibagikan oleh seorang jurnalis Al Jazeera menunjukkan seorang remaja laki-laki berjalan di air kotor setinggi lutut di kamp pengungsi Jabalia sambil membawa jenazah yang dibungkus kain kafan, yang dikatakan sebagai salah satu saudara kandungnya.

Puluhan ribu warga Palestina di Gaza utara mengungsi ke selatan dengan menggunakan berbagai cara baik dengan mobil, truk, kereta kuda, maupun berjalan kaki. Mereka mengubah Rafah menjadi lautan tenda dan tempat penampungan sementara yang terbuat dari kayu dan terpal plastik.

Menggambarkan situasi di Gaza, Kepala Badan Pengungsi Palestina di PBB (UNRWA) Philippe Lazzarini mengatakan pada pertemuan forum pengungsi global PBB di Jenewa, Swiss, bahwa ia telah menyaksikan ‘neraka di Bumi’. Masyarakat di wilayah Palestina ‘menghadapi babak tergelap dalam sejarah mereka sejak tahun 1948, dan ini merupakan sejarah yang menyakitkan’, kata dia setelah kunjungan ketiganya ke sana.

“Sebagian besar penduduk Gaza terpaksa mengungsi, sebagian besar ke bagian selatan jalur tersebut. Rafah kini menampung lebih dari satu juta orang. Dulunya merupakan rumah bagi 280 ribu orang.”

“Negara ini kekurangan infrastruktur dan sumber daya untuk mendukung populasi seperti itu. Di dalam gudang kami, keluarga tinggal di ruang kecil yang dipisahkan oleh selimut yang digantung pada struktur kayu tipis. Di tempat terbuka, tempat perlindungan yang tipis bermunculan di mana-mana. Rafah telah menjadi komunitas tenda,” lanjut Lazzarini.

Dia menggambarkan melihat orang-orang menghentikan truk bantuan dan memakan makanan yang ditemukan di dalam dengan putus asa ketika mereka berdiri di jalan.

“Ruang di sekitar gedung UNRWA penuh dengan tempat berlindung dan orang-orang yang putus asa dan kelaparan. Bantuan tidak lagi dapat menjangkau mereka yang tidak dapat pindah ke selatan. Tidak ada lagi makanan yang bisa dibeli, bahkan bagi mereka yang mampu membayar. Di toko-toko, rak-raknya kosong,” ujarnya.

Kementerian Kesehatan Palestina mengumumkan bahwa 18.682 warga Palestina telah syahid dan lebih dari 50.000 orang terluka sejak dimulainya agresi Israel terhadap Jalur Gaza dan Tepi Barat.

PBB mengatakan warga mengungsi ke selatan untuk menghadapi keadaan yang sangat buruk dengan kerumunan orang yang menunggu berjam-jam di sekitar pusat-pusat distribusi untuk mendapatkan pasokan air, makanan, dan bantuan medis yang sangat terbatas. Sementara penyakit merajalela di tengah-tengah kemelaratan yang diperparah oleh hujan dan banjir.
 

Sumber: Inilah.com