Gallery

Hukum Gunakan Paylater dalam Islam: Layanan Kemudahan dalam Bayang-bayang Riba

Senin, 08 Agu 2022 – 10:49 WIB

Paylater dalam Islam

Mungkin anda suka

Foto: iStock

Perkembangan teknologi digital yang sangat pesat memunculkan kreativitas orang untuk menciptakan banyak keuntungan secara ekonomi.

Mudah, efisien, dan hemat menjadi daya tarik agar orang terpikat akan layanan yang disajikannya.

Apapun yang dibutuhkan, orang bisa pesan menggunakan layanan aplikasi yang tersedia di ponsel pintar. Maka kebutuhan pun akan terpenuhi.

Berbelanja di marketplace pakai sistem paylater atau membayar melalui cara diangsur dengan nominal tertentu kini tengah menjadi tren.

Orang terbawa arus kemudahan layanan tanpa berpikir bahwa ada syariat agama yang mengaturnya.

Penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Kurangnya pengetahuan akan agama Islam membuat orang larut dalam kenikmatan kemudahan layanan yang dihasilkan teknologi tersebut.

Sebelum berbelanja di marketplace, seyogyanya hukum paylater menurut syariat Islam perlu menjadi pertimbangan terlebih dahulu.

Unsur riba

Apakah berbelanja dengan paylater termasuk riba? Mengutip NU Online, hukum paylater bisa menjadi riba ketika ada unsur ziyadah (tambahan) yang disyaratkan di muka oleh pihak penerbit paylater kepada konsumennya.

Riba termasuk dalam jenis riba utang yang diharamkan. Sebab, dengan sistem paylater, pembeli bisa mencicil pembayaran, itu sama saja dengan berutang untuk membeli barang tertentu.

Bila pihak perusahaan menetapkan syarat berupa tambahan harta/manfaat dari jasa utang yang diberikannya kepada konsumen, maka di satu sisi ia masuk kategori riba qardli.

Alasannya hukum asal utang adalah kembalinya harta sejumlah harta pokok (ra’su al-mal) yang diutang, tanpa tambahan. Jika ada syarat tambahan oleh pemberi utang, maka tidak diragukan lagi bahwa tambahan tersebut merupakan riba.

Namun demikian, jika paylater membebankan biaya tambahan bisa jadi bukan termasuk riba. Asalkan biaya tambahan dihitung sebagai jasa atau ijarah yang memang harus dilalui.

Biaya sebagai ijarah ini harus diketahui dengan jelas oleh konsumen termasuk besarannya. Misalnya pembayaran lewat aplikasi Shopee ketika berbelanja dikenakan biaya Rp1.000. Tambahan biaya jasa itu tidak dikategorikan sebagai riba.

Hukum ketiga transaksi paylater bisa dianggap sebagai bai’ tawarruq yakni menjual suatu barang secara kredit (muajjalan) dengan harga tertentu, kemudian membelinya kembali secara kontan (hâlan) dengan harga yang tentunya lebih murah dari harga kredit, yang mana waktu antara menjual dan membeli tadi dilakukan bersamaan.

Kemudian selisih yang belum terbayarkan bisa dicicil tanpa adanya unsur bunga. Namun, yang sulit diterima pada paylater adalah memberlakukan bunga itu dengan nilai persentase dalam rentang tertentu tiap bulan. Jika sudah ada unsur bunga di dalamnya, maka akan dikategorikan riba.

Menurut Ustaz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, ulama kalangan Syafiiyah berkata: “Seandainya ada orang yang berkata kepada rekannya: carikan aku utangan sebesar 100, dan kamu akan mendapatkan dariku 10%-nya.” Maka akad seperti ini masuk kelompok ju’alah (sayembara).” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Juz 33, halaman 33-34)

Pandangan ulama kalangan Hanabilah

Apabila seseorang meminta orang lain agar mencarikan utangan untuk dirinya dengan berbekal kepercayaan yang dimilikinya, maka para ulama Hanabilah berkata: “Boleh bagi orang tersebut mengambil akad ju’alah, yang dengannya ia mengambil fee sebanding dengan utangan yang berhasil didapatkannya berbekal jah (kepercayaan) yang dimilikinya.

Hal ini tentu berbeda jika pengambilan akad ju’alah menjadikan pihak yang berposisi mencarikan berubah menjadi kafil (majikan). Pada saat pihak yang mencarikan utangan berlaku sebagai kafil, maka hukumnya adalah tidak boleh (sebab kedudukan kafil adalah setara dengan pihak yang berutang. Ia akan dimintai pelunasan jika pihak debitur mangkir dari pelunasan).” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Juz 33, halaman 33-34)

Alhasil, dengan mencermati berbagai takyif (rincian akad) yang dilalui di atas, serta menimbang peran kebutuhan yang mendesak dalam penggunaan aplikasi paylater, maka hukum penggunaannya bisa dibagi menjadi 4.

Adapun, langkah bijak dalam menyikapi perbedaan hukum di atas, adalah dengan jalan mengambil kaidah keluar dari ikhtilaf yakni mustahab (yang dianjurkan). Maksudnya, bagi yang sangat berkepentingan dengan jasa paylater, maka solusi yang tepat baginya adalah mengikut jalur pendapat yang membolehkan.

Adapun, bila kondisi itu tidak bersifat darurat, maka sebaiknya tidak menggunakan aplikasi tersebut mengingat adanya indikasi unsur riba yang diharamkan di dalamnya.

Demikian uraian mengenai hukum paylater dalam Islam. Meski paylater menawarkan kemudahan dalam berbelanja, maka harus diingat bahwa utang untuk memenuhi keinginan semata hanya akan menyusahkan diri sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab. 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button