Pakar IT sekaligus Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi, menyambut positif perubahan nama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital. Menurutnya, perubahan ini selaras dengan perkembangan teknologi yang sudah melampaui sekadar informatika, dan lebih mengarah pada digitalisasi yang melibatkan kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), serta tantangan keamanan siber.
“Ya, tentu kita mengapresiasi bahwa apa yang kita sampaikan juga didengar oleh Presiden Prabowo untuk mengganti nomenklatur Kominfo menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital. Teknologi saat ini sudah berkembang pesat, dan tantangannya tidak lagi hanya terkait informatika seperti dulu,” ujar Heru dalam wawancara dengan inilah.com, Senin (21/10/2024).
Heru menyebutkan, penggunaan kata “digital” lebih relevan dengan tantangan saat ini, di mana teknologi semakin kompleks dan berkembang cepat. Langkah ini juga memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam mengadopsi dan menghadapi revolusi teknologi global.
Infrastruktur Masih Jadi PR Besar
Namun, Heru mengingatkan bahwa meskipun ada perubahan nomenklatur, tantangan besar tetap ada, khususnya dalam hal infrastruktur digital. Ia menyoroti keterlambatan pembangunan internet di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), di mana hingga kini masih ada 20% wilayah yang belum terjangkau oleh internet broadband.
“Kita sebenarnya sudah terlambat. Target ‘Indonesia Merdeka Sinyal’ seharusnya tercapai pada 2020, namun hingga 2024 ini masih belum tuntas. Akses internet di wilayah 3T harus segera diperluas dan dipercepat,” tegasnya.
Meski kecepatan internet di Indonesia telah meningkat dari 2,5 Mbps menjadi 25 Mbps dalam satu dekade terakhir, posisi Indonesia justru menurun di Asia Tenggara. Heru menyebut, Indonesia kini berada di peringkat 9 dari 11 negara di kawasan tersebut, menunjukkan bahwa peningkatan kecepatan internet belum mampu mengejar negara-negara lain yang lebih progresif.
“Negara-negara lain sudah menetapkan target kecepatan internet 100 Mbps. Kita perlu segera menetapkan target yang lebih ambisius untuk mendukung ekonomi digital nasional,” tambahnya.
Keamanan Siber yang Lemah dan Ancaman Serangan
Selain masalah infrastruktur, Heru juga menyoroti lemahnya keamanan siber Indonesia, yang kini menjadi sasaran utama serangan siber internasional. Menurutnya, keamanan siber masih belum mendapat perhatian yang memadai, dan kondisi ini perlu segera diperbaiki.
“Kita sudah menjadi target utama serangan siber, tetapi keamanan siber kita masih lemah. Ini perlu menjadi prioritas bagi Kementerian Komunikasi dan Digital di bawah pimpinan Meutya Hafid,” katanya.
Heru menekankan bahwa insiden kebocoran data dan serangan ransomware yang terjadi beberapa waktu lalu harus menjadi pelajaran penting bagi kementerian untuk meningkatkan tata kelola keamanan siber. Ia berharap, Meutya yang juga vokal soal perlindungan data, bisa mengimplementasikan kebijakan yang lebih ketat dan efektif dalam mencegah kebocoran data di masa depan.
Perlindungan Data dan Undang-Undang PDP
Lebih lanjut, Heru juga membahas tantangan perlindungan data pribadi di Indonesia, terutama dengan mulai diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang efektif sejak 17 Oktober 2024. Menurutnya, undang-undang ini masih membutuhkan aturan operasional, seperti peraturan pemerintah dan keputusan presiden terkait lembaga yang bertanggung jawab atas perlindungan data.
Heru menekankan bahwa lembaga perlindungan data sebaiknya independen dan tidak berada di bawah kendali Kementerian Komunikasi dan Digital, untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas.
“Lembaga perlindungan data seharusnya independen, sesuai dengan semangat UU PDP. Jika dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Digital, akan ada potensi konflik kepentingan, di mana kementerian yang mengawasi juga menjadi regulatornya. Ini tidak tepat,” jelasnya.
Tantangan Pengembangan Teknologi dan E-Commerce
Selain tantangan teknis, Heru juga menyebut Indonesia harus memperkuat posisinya di kancah teknologi global. Menurutnya, Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar teknologi dunia, tetapi juga harus berusaha menjadi “creator” atau bahkan “owner” teknologi.
“Ke depan, kita harus memastikan Indonesia bisa menciptakan dan memiliki teknologi, bukan sekadar menjadi konsumen. Kalau tidak, kita akan terus tertinggal dalam pertarungan kelas global dalam penguasaan teknologi,” ujarnya.
Heru juga mengingatkan agar sektor e-commerce di Indonesia terus didorong. Meskipun sudah ada kemajuan, target e-commerce nasional sebesar 125 miliar USD pada 2024 tampaknya belum akan tercapai, mengingat hingga 2023 baru mencapai 82 miliar USD.
“Ini menunjukkan upaya kita belum maksimal. Program yang terintegrasi dan fokus diperlukan untuk mendorong kemajuan e-commerce dan digital ekonomi kita,” tutup Heru.