Kanal

IKN Kita Sangat Konyol

DPR RI merestui anggaran Rp 12 triliun untuk pembangunan ibukota baru pada APBN 2022. Ketua Badan Anggarannya, Said Abdullah, beralasan, “Beban Jakarta sebagai ibukota Negara sekaligus kawasan bisnis dan keuangan sudah sangat besar.” (Koran Tempo, 10 Januari 2022).

Sungguh saya tak paham maksud ucapannya. Sebab fakta yang kita saksikan pada Laporan Realisasi Anggaran dari tahun ke tahun hingga 2020 lalu, Jakarta justru kota yang paling siap dan mampu membiayai anggaran pembangunannya. Tentu saja jika kita membandingkannya terhadap seluruh daerah lain di Indonesia. Peran APBN terhadap pendapatan Daerah Khusus Ibukota itu, teramat kecil. Pendapatan asli Daerah dan Bagi Hasil yang bersumber dari ‘kekayaan’-nya sendiri, sangat mencukupi.

Jika demikian, status sebagai pusat bermacam aktivitas yang berkembang sejalan dengan peran ibukota Negara yang disandangnya, apakah berlaku sebagai ‘beban’ atau ‘keuntungan’ bagi Jakarta?

Pemindahan ibukota Negara sebagai upaya mendistribusikan pusat pertumbuhan, mungkin lebih beralasan. Walaupun tak tepat. Sebab aktivitas perekonomian wilayah tak bakal serta-merta mampu digesernya. Mungkin hanya sebagian kecil saja. Dasar pemikiran yang mengira mampu memindahkan dinamika perekonomian ruang kota yang kini dimiliki Jakarta ke Penajam Paser Utara, bertolak belakang dengan kaidah revolusi industri yang kini sedang berlangsung.

Hari ini saja, kita sudah berada di era 4.0 yang bercirikan digitalisasi. Teknologi berkembang pesat untuk menghadirkan — sekaligus memberdayakan — konektivitas. Berbagai tatanan yang sebelumnya merupakan keniscayaan, terdisrupsi secara besar-besaran. Dunia maya semakin nyata. Tak lagi ‘perlu’ dihindari sebagaimana sebelumnya. Ketika setan dan hantu masih menjadi penghuni utama di sana.

Revolusi Industri 4.0 justru menghadirkan segala yang maya sebagai bagian kehidupan nyata manusia. Parallel universe. Kini hampir semua di antara kita telah mengambil bagian di sana. Bahkan sudah memiliki kavling masing-masing. Juga ruang bersama.

Perkembangan itu berlangsung sangat cepat. Hingga banyak yang tak menyadari jika kita sedang berada di ambang pintu tahapan selanjutnya. Revolusi Industri 5.0 yang bercirikan kemampuan teknologi mempersonalisasikan kebutuhan pribadi yang diinginkan. Robot sudah berada di lintasan yang jauh lebih pasti. Untuk menggeser kehadiran manusia dalam proses manufaktur kebutuhan mereka. Kecerdasan buatan menjadi bagian kehidupan sehari-hari dan kita akan selalu berdampingan dengannya.

Keunggulan ‘armosfir’ Jakarta sebagai aglomerasi segala keunggulan, amat sulit ditiadakan. Terutama human capital yang selama ini memang mereka manjakan pelayanannya. Karena dari sana pula dia menambang penghasilan untuk membiayai diri.

Lalu, apa dikira kumpulan aparatur Negara dan pemerintah yang ada sekarang dan ingin diboyong ke Kalimantan Timur itu, memiliki syarat cukup untuk berinovasi dan mengembangkan gagasan, agar kelak bisa mengambil peran pada pengejewantahan Revolusi Industri 5.0 di republik ini?

Itu mimpi mengerikan yang sungguh tak tahu diri, namanya. Secara individu, kita akui pasti ada pegawai atau aparat yang pintar, cerdas, dan cemerlang. Tapi lingkungan komunitasnya, hampir tak mungkin. Kecuali direvolusi besar-besaran sehingga budaya bobrok, boros, bertele-tele, mahal, dan hanya memikirkan dirinya sendiri itu, dibongkar terlebih dahulu. Digantikan robot-robot yang bukan hanya lebih cerdas. Tapi juga lebih manusiawi dan setia pada kewajibannya melaksanakan konstitusi yang diamanahkan ke pundak mereka.

+++

Maka saya teringat kabar Washington Post di bulan November lalu. Walikota Seoul yang kala itu baru terpilih, Oh Se-hoon mendeklarasikan ‘The Seoul Vision 2030’ yang ingin menapakkan diri sebagai global hub yang berbasis teknologi masa depan. Mereka mengembangkan ‘metaverse’ ibukota Korea Selatan yang dipimpinnya. Bukan semata untuk gaya-gayaan memamerkan kotanya lewat kecanggihan teknologi hiburan. Tapi sebagai upaya sungguh-sungguh mereka mengujicobakan fungsi pemerintahannya. Melalui ekosistem komunikasi yang memungkinkan administrasi pelayanan kota terselenggara di sana. Secara virtual reality. Alias kenyataan dunia maya. Di mana interaksi berlangsung antar avatar-avatar yang merepresentasikan ASN dan setiap warganya.

Saya lalu teringat era 1990-an. Ketika masih bekerja di industri pertelevisian dan menyaksikan langkah-langkah terstruktur yang mereka rancang demikian menyeluruh dan terpadu. Untuk menjadi pemain utama dalam industri hiburan dunia. Bukan sekedar ambil bagian. Sebagaimana yang kita saksikan, rasakan, konsumsi, dan gauli hari ini.

Metaverse Seoul mestinya jadi cermin bagi pemikiran norak, ketinggalan zaman, dan — ‘maaf’ karena harus mengatakannya — sebagai gagasan tolol tentang pemindahan ‘fisik’ ibukota negara ini ke Kalimantan Timur sana. Apalagi dengan membuang-buang uang rakyat yang tahun 2022 ini saja sudah dialokasikan Rp 12 triliun. Sekitar 24 kali lipat anggaran yang dicanangkan Seoul selama 5 tahun ke depan. Untuk mengembangkan proyek metaverse-nya yang jauh lebih menapak bumi dan menjanjikan (US$ 34 juta).

+++

Tapi Pemerintah dan DPR sekarang katanya sedang tergesa-gesa menuntaskan RUU Ibukota Negara yang baru itu. Koran Tempo kemarin, Senin 10 Januari, mengabarkan. Pengesahannnya akan dilakukan minggu depan. 18 Januari 2022 ini.

Saya akan menyiapkan diri untuk kecewa dan mengelus dada. Dari sejumlah rancangan yang beredar, tak ada bau-bau ‘avatarisme’ di sana. Masih berkutat ingin membangun candi. Hal yang menyebabkan kawan saya, Nyoman Nuarta, pematung terkenal yang menciptakan Garuda Wisnu Kencana di Bali kemarin, termehek-mehek memamerkan reka desain ‘candi’ Istana Negara di sana. Bukan pada ‘metaverse’ Jakarta (atau kalau perlu dinamakan ‘Metaverse Jokowi’ pun tak apa, jika daya jangkau kecerdasan fikirannya mampu sampai ke sana).

Mardhani. Jilal — 11 Januari 2022

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button