Ikuti Saran Ekonom Senior, Prabowo Naga-naganya Batal Kerek PPN 12 Persen


Banyak ekonom memberikan masukan kepada pemerintahan baru yang bakal dipimpin Prabowo Subianto. Tunda kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada tahun depan. Jika ingin ekonomi selamat.

Ekonom senior Aviliani menerangkan, jika pemerintahan Prabowo jadi mengerek naik PPN menjadi 12 persen, lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Beban kelas menengah yang saat ini sudah berat, bakal semakin tenggelam.

Saat ini saja, lanjut ekonom berparas ayu itu, daya beli kelas menengah sudah benar-benar melamah. Jika PPN naik maka harga barang semakin melonjak. Konsumen, produsen dan pedagang bakal terkena imbasnya.

“Ini yang diperhatikan oleh dunia usaha. Kalau mau menaikkan pajak, bereskan dulu soal pendapatan masyarakat di kelas menengah, karena mereka merupakan permintaan bagi pengusaha,” ujar Aviliani di jakarta, Rabu (9/10/2024).

Mengingatkan saja, kenaikan tarif PPN 12 persen tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pasal 7 ayat 1 UU HPP, menyatakan, tarif PPN yang sebelumnya 10 persen naik menjadi 11 persen sudah berlaku pada 1 April 2022. Kembali akan dinaikkan menjadi 12 persen, selambat-lambatnya 1 Januari 2025.

Namun, kepastian kebijakan PPN 12 persen nantinya akan diumumkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto setelah pelantikan presiden.

Di samping rencana kenaikan PPN 12 persen, UU HPP juga memberikan ruang untuk mengubah PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen.

Kemudian, Pemerintah pun telah memberikan kebijakan pembebasan PPN pada sejumlah kelompok, seperti kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, di mana insentif ini juga dinikmati kelompok menengah hingga atas.

Ekonom senior yang juga Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo sepakat dengan pendapat Aviliani. Penerapan PPN 12 persen tidak cocok ketika daya beli masyarakat mengalami pelemahan yang luar biasa.

“Bagaimana kalau kenaikan itu membuat orang yang bayar makin sedikit? Sama seperti barang kalau dijual lebih mahal, orang yang beli makin sedikit. Ini ujungnya penerimaan kita jeblok,” kata Drajad.

Pelemahan daya beli kelas menengah, menurut Dradjad, terindikasi dari tren deflasi yang berlangsung lima bulan berturut-turut. Fenomena ini juga dipengaruhi oleh tingginya pengangguran di Indonesia, yang akhirnya membuat sebagian masyarakat terlempar dari kelompok kelas menengah.