News

Imam Syafii, Ajaran Fikihnya Diakui, Pribadinya Nyaris Kita Lupakan

Imam yang ketiga, Abu Abdullah Muhammad bin Idris, lebih terkenal sebagai Imam Syafi’i, pendiri Madzhab Fiqh Syafi’i, termasuk golongan suku Quraisy, seorang Hasyimi dan keluarga jauh Nabi. Ia lahir di Ghagy pada 767 M, kehilangan ayahnya ketika ia masih kanak-kanak, dan dibesarkan oleh ibunya dalam kemiskinan.

Ia menghafal kitab suci Quran di Mekkah. Karena bergaul lama dengan orang Baduy, dasar pengetahuan puisi Arab kunonya sangat kuat. Ia belajar Hadits dan Fiqh dari Muslim Abu Khalid Al-Zinyi, dan Sufyan ibn Uyaina. Ia hafal “Al-Muwwata” pada usia 13 tahun. Waktu umurnya 20, ia menemui Imam Malik ibn Anas di Madinah, dan menjelaskan “Al-Muwwatta” di depan Imam tersebut, yang amat dihargai oleh sang Imam. Ia tinggal bersama Imam Malik sampai pada akhir hayat Imam tersebut, 795 M.

Karena keadaan keuangannya yang buruk, ia terpaksa menjadi pejabat pemerintah di Yaman, kubu Alid yang dicurigai khalifah Abbasiyah. Ia terlibat dalam intrik-intrik Alid, sehingga ia dan Alid dibawa sebagai orang hukuman menghadap khalifah Abbasiyah Harun ar-Rasyid ke Rakka, 803 M.

Setelah mendengar alasan pembelaan Imam Syafi’i, Khalifah membebaskan dia dengan hormat. Di Baghdad, ia akrab dengan ilmuwan Hanafi yang terkenal, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani.

Pada 804 M, ia berangkat ke Suriah dan Mesir melalui Harran. Di Mesir kedatangannya dielu-elukan para murid Imam Malik. Ia mengajar Fiqh selama enam tahun di Kairo dan kembali ke Baghdad pada 810 M, tempat ia sukses sebagai guru. Banyak ilmuwan Irak yang menjadi muridnya. Pada 814 M, ia pulang ke Mesir, tetapi karena ada kerusuhan ia terpaksa berangkat ke Mekkah.

Imam Syafii balik lagi ke Mesir pada 815/816 M, dan seterusnya bermukim di situ. Beliau wafat pada 20 Januari 820 M (29 Rajab 204 H) dan dimakamkan di pemakaman Banu Abd Al-Hakam di Fustat dengan perkabungan yang menyeluruh. Makamnya dibangun oleh penguasa Ayubiah al-Malik al-Kam pada 1211/12 M, dan menjadi tempat berkunjung para peziarah.

Seperti pendahulunya, Imam Abu Hanifa dan Imam Malik, Imam Syafi’i juga menolak menjadi qadi rejim Abbasiyah. Tahun-tahun kediamannya di Irak dan Mesir merupakan periode kegiatannya yang intensif. Waktunya dimanfaatkan untuk membaca dan berceramah. Kehidupan sehari-harinya amat teratur, dan ia membagi waktunya secara sistematis sehingga jarang menyimpang dari rencana yang tetap.

Menurut “Encyclopaedia of Islam”, as-Syafii dapat digambarkan sebagai seorang penimbang yang baik sehingga menjadi penengah antara peneliti data hukum yang beraliran bebas dan ahli Hadis. Ia tidak saja menelaah data hukum yang ada, tetapi dalam “Risalah”-nya ia juga menyelidiki prinsip dan metode fiqh. Ia dianggap sebagai pendiri Us al-Fiqh.

Berbeda dengan kaum Hanafi, ia mencoba meletakkan aturan-aturan umum qiyas, namun ia tidak menyentuh Istihsan. Prinsip Ishtibah tampaknya diperkenalkan untuk pertama kali oleh angkatan Syafi’i yang lebih muda. Dalam as-Syafi’i dapat dibedakan dua era kreatif, yaitu era awal (Irak), dan era belakangan (Mesir).

Dalam karya tulisnya ia memanfaatkan dialog dengan baik. Ia menguraikan prinsip-prinsip fiqh dalam “ar-Risalah”, dan mencoba menjembatani fiqh Hanafi dan Maliki. Himpunan tulisan dan ceramahnya di “Kitabul Umm (Al-Umm)” bukti kecende-kiawanannya.

Imam Syafii memusatkan kegiatan di Baghdad dan Kairo. Di atas segalanya ia menaati Quran, kemudian Sunnah. Hadis yang paling sahih diberikannya pertimbangan yang sama seperti Quran. Ia termasyhur di antara para ahli Hadis, dan penduduk Baghdad menamakannya Nazir us-Sunnah (eksponen Hadis).

Dalam diri Imam Syafii tergabung keahlian prinsip-prinsip fiqh Islam dan penggunaan bahasa rakyat Hejaz dan Mesir yang lancar, sehingga ia tidak tertandingi dalam percakapan maupun tulisan. Karya tulisannya lebih baik dari penulis Arab yang terbaik pada masanya, termasuk Jahiz.

Ajaran Imam Syafi’i meluas dari Baghdad dan Kairo sampai ke seluruh Mesir, Irak, dan Hejaz. Muridnya yang terkemuka ialah al-Muzani, al-Buwaiti, al-Rabib Sulaiman, al-Maradi, al-Zafarani Abu Thawi, al-Humaidi, Ahmad ibn Hanbal, dan al-Karabisi.

Pada abad ketiga dan keempat, penganut kaum Syafi’’i semakin banyak di Baghdad dan Cairo. Pada abad keempat, Mekkah dan Madinah menjadi pusat ajaran Syafi’i, di samping Mesir.

Di bawah Sultan Salahuddin Ayyubi, madzhab Syafi’i menjadi paling utama. Tetapi Sultan Baibars mengakui juga madzhab fiqh yang lain, dan mengangkat para hakim dari keempat madzhab yang ada.

Sebelum kekuasaan Ottoman, kaum Syafi’i paling unggul di pusat Wilayah Islam. Selama awal abad ke-16 M, Ottoman mengganti Syafi’i dengan Hanafi. Walau begitu, ajaran Syafi’i tetap unggul di Mesir, Suriah, Hejaz, dan masih banyak dipelajari di Universitas al-Azhar, Cairo. Fiqh Syafi’i masih banyak dianut oleh Muslimin di Arab Selatan, Bahrain, Kepulauan Melayu, sebagian Afrika Timur, dan Asia Tengah. [dsy]

Dari “Hundred Greats Muslim”, Jamil Ahmad, Lahore, 1984

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button