Market

IMF Semprot BI, Ekonom CORE Nilai ‘Burden Sharing’ Memang Peran Bank Sentral

Pengamat ekonomi menilai skema berbagi beban atau burden sharing antara pemerintah dengan Bank Indonesia merupakan kebijakan yang wajar. Hal tersebut memang bagian dari peran bank sentral.

Ekonom dari lembaga kajian ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengatakan hal tersebut. “Pengelolaan keuangan ataupun laporan keuangan itu terutama oleh Bank Indonesia itu tidak bisa disamakan dengan entitas bisnis pada umumnya yang konvensional. Penilaiannya itu lebih kepada seberapa optimal atau mampu BI Ini menjalankan perannya,” kata ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet saat dihubungi di Jakarta, baru-baru ini.

Yusuf berpendapat pernyataan IMF yang menyoroti kebijakan burden sharing dan meminta dihentikan pada akhir 2022 lebih kepada mengingatkan karena menurutnya, IMF sadar bahwa burden sharing masih dibutuhkan pada tahun 2022 ini.

“Kalau kita mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut sudah jelas dikatakan bahwa burden sharing memang hanya akan dilakukan sampai akhir tahun 2022 gitu. Jadi kalau saya kira IMF sudah mengetahui hal tersebut dan sifatnya mengingatkan,” ujar dia.

Menurutnya, kebijakan burden sharing bisa saja segera berhenti jika beragam kebijakan yang telah jalan oleh pemerintah telah terseksekusi secara optimal. Kebijakan yang tersebut adalah kebijakan di sektor kesehatan, pemberian berbagai insentif dan kebijakan-kebijakan pemulihan ekonomi yang bergantung pada burden sharing.

Terkait kekhawatiran bahwa burden sharing akan berdampak terhadap neraca keuangan BI menurutnya, kekhawatiran tersebut memang beralasan karena memang ada potensi defisit keuangan BI. Namun defisit neraca keuangan BI bukan yang pertama kali terjadi, sehingga ia menegaskan yang terpenting adalah Bank Indonesia menjalankan perannya sebagai bank sentral.

“ Apakah kemudian itu akan berdampak terhadap neraca keuangan itu menjadi suatu konsekuensi bukan tujuan,” jelasnya.

Mengenai potensi penerimaan di tahun depan, ia menuturkan bahwa hal tersebut memang akan menjadi tantangan tersendiri yang patut dinantikan. Kendati demikian, kebijakan reformasi perpajakan yang mulai berlaku di tahun ini, berpeluang mampu menopang penerimaan negara di tahun 2023.

“Tahun 2023 itu akan cukup menantang karena burden sharing sudah tidak ada dan ini akan sangat bergantung terhadap kondisi pasar, juga bagaimana pemerintah melanjutkan reformasi penerimaan pajak khususnya,” ujar Yusuf.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button