Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso mengatakan, kenaikan harga beras seharusnya tidak terjadi karena pemerintah memiliki stok beras impor yang melimpah.
“Melihat besarnya impor beras pada tahun ini, seharusnya itu tidak terjadi. Kan bisa digelontorkan beras itu, tapi caranya harus tepat dan benar,” kata Sutarto saat dihubungi, Jakarta, Selasa (16/7/2024).
Sutarto benar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 376.791 ton beras impor masuk ke Indonesia sepanjang Juni 2024. Jumlah itu turun 15,87 persen dibandingkan masuknya beras impor pada Mei 2024 sebanyak 447.844 ton. Secara tahunan jumlah beras impor mengalami kenaikan 77,06 persen dibandingkan Juni 2023.
Pada 2023, Indonesia mengimpor beras sebanyak 3,06 juta ton. Angka ini terbesar dalam sejarah Indonesia. Pada tahun ini, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menggenjot impor beras hingga 5,17 juta ton. Lebih gede lagi.
Sehingga wajar jika publik mengherankan terjadinya kenaikan harga beras di tengah berlimpahnya stok beras dalam negeri dari impor yang jor-joran. “Ini ada apa? Saya kira ini tidak perlu terjadi, karena impor beras kita cukup besar dalam 2 tahun terakhir,” kata mantan Direktur Utama Perum Bulog itu.
Dia menyarankan agar Perum Bulog melakukan evaluasi terhadap program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang menggunakan beras impor. Khususnya menyangkut distribusi beras SPHP yang hanya melibatkan ritel besar saja.
“Libatkan juga penggilingan padi yang kecil-kecil di daerah. Agar tidak terjadi gejolak. Sehingga program SPHP bisa efektif untuk menjaga harga,” kata Sutarto.
Di sisi produksi, kata Sutarto, pemerintah perlu fokus untuk menambah areal persawahan yang mengalami susut signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, luas lahan baku sawah nasional mencapai 8,07 juta hektare (ha) pada 2009. Menyusut menjadi 7,46 juta ha pada 2019.
Artinya, luasan sawah tergerus 610 ribu ha dalam satu dekade. Atau rata-rata 61 ribu per tahun. Padahal, untuk bisa berswasembada pangan pada 2025, diperlukan lahan persawahan seluas 13,17 juta ha.
“Untuk itu, program pembukaan lahan-lahan baru untuk pertanian, harus benar-benar serius. Saya percaya Kementan bisa mewujudkannya. Lahan-lahan luas kita masih banyak yang nganggur kok. Saat ini, lahan-lahan itu dikuasai pemilik modal besar,” ungkapnya.
Selain itu, kata Sutarto, pemerintah harus serius membangun infrastruktur yang memang dibutuhkan petani. Pompanisasi oocok untuk daerah yang punya sumber air. Namun, banyak areal persawahan yang jauh dari sumber air. Celakanya lagi, tak punya saluran irigasi yang mumpuni.
“Kan bisa menggunakan dana desa untuk membangun infrastruktur pertanian. Memang betul 20 persen dialokasikan untuk pertanian, tapi kenyataannya apakah seperti itu? Jangan dana desa hanya untuk pariwisata. Rakyat kita kan butuh makan,” ungkapnya.
Masih kata Sutarto, pemerintah harus menghentikan berbagai proyek yang mengancam areal persawahan di Indonesia. Termasuk kepala daerah harus punya kepedulian untuk menjaga sawah dari berbagai ancaman.
“Kita lihat di banyak daerah, sawah-sawah sudah berubah menjadi perumahan. Ini kan berdampak kepada produksi beras kita. Jadinya impor terus,” kata Sutarto.