Market

INDEF Sebut Subsidi BBM dan Proyek IKN Kurang Bermanfaat

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya menilai subsidi BBM dan pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara atau IKN sebagai white elephant atau program yang kurang bermanfaat di tengah penurunan pendapatan pajak akibat pandemi COVID-19.

“Kita punya less money dan fiskal space-nya reduce, tapi masih memaksa program yang white elephant, low priority di antaranya subsidi BBM dan IKN,” ujarnya dalam diskusi publik INDEF secara hybrid di Jakarta, Rabu (13/7/2022).

Menurutnya, jika pemerintah serius ingin mengurangi kesenjangan kemiskinan, maka pemerintah harus mengutamakan program yang berdampak langsung kepada golongan masyarakat menengah ke bawah.

“Temuan UNESCAP bahwa alokasi kredit dan program finance itu harus banyak untuk masyarakat menengah ke bawah sehingga mengurangi kesenjangan dan meningkatkan inklusi keuangan,” katanya.

Berly menuturkan selama pandemi COVID-19 pendapatan pajak cenderung menurun. Kini sudah berada pada level rendah di bawah 10 persen dan mirip dengan kondisi pada saat krisis moneter tahun 1998.

Hal tersebut menjadi permasalahan karena pendapatan negara berkurang sedangkan kebutuhan terhadap kesehatan dan pemulihan ekonomi masih tinggi.

Menurutnya, subsidi BBM kurang tepat sasaran karena yang menikmatinya adalah kalangan menengah ke atas seperti untuk berlibur.

Dia menganggap ada kecanduan terhadap BBM murah yang seharusnya saat ini beralih ke transisi energi hijau. Tercatat pemerintah menggelontorkan dana Rp350 triliun untuk mencegah harga Pertalite dan listrik naik.

“Subsidi ini menghabiskan dana yang cukup besar, bahkan Sri Mulyani juga mengatakan subsidi ini semakin banyak makin banyak jalan-jalannya yang kelas menengah atas. Ini disebut sebagai kecanduan lama terhadap BBM murah,” jelasnya.

Kemudian mengenai pembangunan IKN yang membutuhkan dan Rp446 triliun dengan 20 persen pembiayaan berasal dari APBN tidak tepat apalagi di tengah krisis global saat ini serta dampaknya yang relatif rendah terhadap kesejahteraan masyarakat.

“Investor juga banyak yang mundur, sehingga janji 20 persen penggunaan APBN ini perlu di update lagi,” kata dia.

Lebih lanjut ia meminta pemerintah memperbaiki penyaluran bantuan sosial yang belum akurat. INDEF menemukan sebanyak 20 persen kabupaten/kota atau hampir 100 kabupaten/kota tidak melakukan pembaruan data kependudukan selama pandemi sehingga bansos itu tidak tepat sasaran.

“Termasuk temuan dari BPK ada Rp6,93 triliun bansos yang tidak tepat saran dan ada 21 juta data ganda,” tuturnya.

Oleh karena itu, Indef menyarankan pemerintah untuk meningkatkan tingkat akurasi pemberian bantuan sosial dan perlu mengalihkan anggaran untuk jaring pengaman sosial.

“Stimulus Indonesia selama pandemi lebih rendah dibandingkan rata-rata negara di kawasan Asia Timur dan juga pendistribusian yang kurang akurat,” kata Berly.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button