Saat PHK menjamur, pemerintah memilih ‘jalan ninja’ mengekspor tenaga kerja. Padahal sangat jelas langkah ini memiliki banyak risiko. Mulai dari bertaruh nyawa dengan perlindungan yang minim hingga dampak sosial bagi keluarga yang ditinggalkan.
Maluh, 34, selalu bersemangat ketika menceritakan pengalamannya pernah bekerja di Arab Saudi. Bisa dibilang, saat itu adalah masa kejayaannya bisa memperbaiki kondisi ekonomi rumah tangga.
Membantu suami dengan bekerja di Arab Saudi menjadi sebuah langkah cepat baginya untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Wajahnya selalu tersenyum ketika mengingat pundi-pundi rupiah yang berhasil dia kumpulkan dari bekerja menjadi tenaga migran itu.
“Saya dulu kerja di Arab Saudi bisa nabung, bisa kirim uang ke orang tua di kampung, bisa bangun rumah juga,” kata perempuan yang akrab disapa Luh itu kepada inilah.com.
Di sisi lain, kerasnya hidup yang dia jalani sebagai pekerja migran masih jelas teringat di pikirannya. Banyak hal yang tidak menyenangkan dia rasakan juga teman-temannya sesama pekerja migran. Dahulu, dia masih jelas di ingatannya tubuhnya kurus karena waktunya dia habiskan untuk bekerja seharian.
Namun, rasa syukur terus dia lontarkan ketika bisa menyelesaikan pekerjaan di Arab Saudi dan kembali pulang ke Tanah Air serta berkumpul bersama keluarga.
Ia kini bekerja sebagai asisten rumah tangga di kawasan Jakarta Timur. Upah dari kerja yang dia jalani kini memang jauh dari penghasilannya saat bekerja di Arab Saudi.
Kini pemerintah membuka kembali moratorium pekerja migran ke Arab Saudi. Bagi Luh, dan banyak warga Indonesia yang ingin bekerja dengan harapan memperbaiki perekonomian keluarga, dibukannya kembali moratorium pekerja migran ke Arab Saudi tentu menjadi sebuah harapan.
Tentu bekerja di negeri orang sangat berisiko bahkan taruhannya nyawa mengingat perlindungan tenaga migran oleh pemerintah masih belum maksimal.
Moratorium atau penangguhan pakerja migran Indonesia ke Arab Saudi ini, telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia kurang lebih 10 tahun lamanya sejak tahun 2015.
Hal ini dilakukan karena banyak kasus yang dialami oleh pekerja migran Indonesia yang ada di Arab Saudi dan dinilai tidak ada aturan yang bisa melindungi pekerja migran Indonesia saat bekerja di sana.
Akibat diterapkannya moratorium, banyak pekerja migran Indonesia yang nekat untuk berangkat bekerja ke Arab Saudi secara illegal.
Sebanyak 4,3 juta pekerja migran Indonesia Indonesia yang bekerja di Arab Saudi bekerja secara ilegal.
Pemerintah berencana mengirimkan pekerja migran ke Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, pada tahun ini. Rencana ini akan mengakhiri moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia ke Timur Tengah yang telah berlangsung sejak 2015.
“InsyaAllah dalam waktu dekat ini penandatanganan MoU akan dilakukan pada 20 Maret 2025,” kata Menteri Perlindungan Pekerja Migran, Abdul Kadir Karding, seperti dikutip inilah.com, Jakarta, Sabtu (22/03/2025).
“Kami sudah melakukan perundingan dengan Kementerian Tenaga Kerja Arab Saudi,” kata Karding dalam konferensi pers, Jumat (14/3/2025) lalu setelah dia melaporkan rencana ini kepada Presiden Prabowo Subianto.
Alih-alih ini seperti membuka jalan lapangan kerja, pemerintah Indonesia mengklaim, Kerajaan Arab Saudi membuka kuota untuk 600.000 pekerja Indonesia dengan jaminan gaji lebih dari Rp6,5 juta untuk setiap pekerja.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo kepada inilah.com menjelaskan melihat moratorium terbuka itu hanya berorientasi pada perolehan remitensi saja. Menurutnya, dari kucuran keringat pekerjaan migran, pemerintah sampai bisa memprediksi lebih dari Rp30 triliun.
“Ini pemerintah kita sebenarnya hanyalah pemerintah mata duitan. Hanya mau mendapatkan keuntungan dari penempatan pekerja migran tetapi abai pada agenda perlindungan pekerja migran,” tegasnya.
Wahyu dengan tegas melihat seharusnya Indonesia mengedepankan bagaimana memberikan perlindungan yang terbaik terhadap pekerja migran yang kerap disebut pahlawan devisa negara itu.
“Karena situasinya rentan di mana-mana apalagi di Timur Tengah seperti itu,” ujarnya.
Jalan ‘Ninja’ Hadapi Gelombang PHK?

Pencabutan moratorium ini dilakukan di tengah kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air yang terus melemah bahkan seperti sedang tenggelam.
Baru-baru ini, Indonesia menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
Banyak perusahaan, terutama di sektor manufaktur, ritel, dan teknologi, melakukan PHK besar-besaran dengan alasan efisiensi akibat ketidakpastian ekonomi global.
Kondisi ini membuat angka pengangguran semakin meningkat, sementara pemerintah harusnya gerak cepat (gercep) menghadapi kondisi ini untuk menyelamatkan tenaga kerja Indonesia.
Pemerintah diharapkan dapat memberikan solusi nyata untuk menciptakan lapangan kerja baru di dalam negeri, bukan di luar negeri.
Hal tersebut seperti jauh dari harapan. Krisis ekonomi yang semakin membuat masyarakat Indonesia ‘kembang kempis’ dalam menyambung hidup sehari-hari, tidak diimbangi dengan lapangan kerja yang luas.
Alih-alih fokus pada penyediaan lapangan kerja bagi rakyatnya, pemerintah justru mencabut moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan, apakah ini sekadar jalan pintas bagi pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran tanpa menyelesaikan akar permasalahannya?
Keputusan pemerintah mencabut moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi tampaknya tidak solutif.
Dengan meningkatnya angka pengangguran akibat PHK, pemerintah seolah mencari jalan keluar cepat dengan mengirim lebih banyak tenaga kerja ke luar negeri.
Padahal, kebijakan ini memiliki berbagai risiko, baik dari sisi perlindungan tenaga kerja maupun dampak sosial bagi keluarga yang ditinggalkan.
Moratorium sebelumnya diberlakukan karena banyaknya kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi.
Pelanggaran hak-hak pekerja, kasus kekerasan fisik dan seksual, hingga hukuman mati bagi tenaga kerja yang terjerat kasus hukum di negara tersebut menjadi alasan utama larangan ini diberlakukan.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima 1.219 pengaduan kasus pekerja migran Indonesia di Arab Saudi sepanjang 2012–2023. Rinciannya, 248 kasus perdagangan orang, 127 kasus pemutusan hubungan kerja sepihak, 92 kasus hilang kontak, 84 kasus kekerasan fisik, 82 kasus terkait sakit serta 586 jenis kasus lainnya.
“Ini kan sangat jelas bahsawanya pemerintah gagap dalam menghadapi permasalahan PHK yang terjadi di dalam negeri sehingga jalan cepat dan mudah adalah pemerintah mencabut moratorium yang ke Arab Saudi,” papar Koordinator Migrant Care Indramayu, Muhammad Santosa.
Taruhan Nyawa di Negeri Orang
Realitas pekerja migran, khususnya di Arab Saudi, masih menyimpan banyak permasalahan. Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak pekerja yang mengalami eksploitasi dan perlakuan tidak manusiawi.
Selain itu, sistem kerja di Arab Saudi yang masih menggunakan sistem kafala, yaitu pekerja bergantung sepenuhnya pada majikan.
Hal ini membuat mereka rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Banyak kasus pekerja migran yang mengalami penyiksaan, tidak dibayar gajinya, bahkan tidak bisa pulang karena paspornya ditahan oleh majikan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pencabutan moratorium bukanlah solusi ideal bagi masalah pengangguran.
Sebaliknya, hal ini justru menunjukkan pemerintah lebih memilih mengirim warganya ke luar negeri untuk bekerja dalam kondisi yang belum sepenuhnya aman dari memperbaiki sistem ketenagakerjaan di dalam negeri.
“Kenapa sih pemerintah tidak mencoba mengembangkan masyarakat Indonesia, membuat UMKM-UMKM baru. Faktanya UMKM-UMKM ini yang mampu bertahan dalam situasi krisis 98 kemarin. Kalau masyarakat diajarkan, diberdayakan untuk membuat UMKM terus mereka mampu berdikari dan juga mereka mampu mengemban UMKM-nya, bukan hanya mereka sendiri yang akan terpenuhi secara ekonominya. Akan tetapi dalam UMKM ini bisa membuka lapangan pekerjaan baru,” ujar Muhammad Santosa. (TKA/HARRISMUDA/DIANARIZKI)