Industri Otomotif Mulai Ngos-ngosan, Jika PPN 12 Persen Dipaksakan Bisa Pantik PHK Besar-besaran


Selain industri tesktil, sejumlah pabrikan otomotif yang masuk industri padat karya, mulai batu-batuk. Penjualan mobil di Indonesia mengalami kelesuan luar biasa, karena terpuruknya daya beli.

Sekretariat Umum (Sekum) Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara mengatakan, kondisinya bakal semakin berat karena upah buruh (Upah Minimum Provinsi/UMP) bakal naik tahun depan.

Belum lagi jika pemerintah jadi menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. berdampak kepada semakin lemahnya daya beli yang berdampak kepada semakin rendahnya penjualan.

“Ingat, beban kita sudah berat karena penjualan mengalami penurunan dalam setahun terakhir. Kalau tahun depan daya beli semakin lemah, makin berat kita,” kata Kukuh di Jakarta, dikutip Rabu (27/11/2024).

Urusan upah naik saja, kata Kukuh, industri otomotif sudah pusing tujuh keliling. “Sebagian besar (pekerja) di industri otomotif di Jawa Barat, menuntut kenaikan upah. Itu berat bagi kami. Sangat berat,” ujar Kukuh.

Ketika penjualan mobil sedang lesu, kata Kukuh, jangankan menaikkan upah, menjaga agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) saja, cukup sulit. Ketika penjualan lesu, perusahaan otomatis mengurangi produksi. Berarti mengurangi jam kerja. Artinya, banyak pekerja yang tenaganya mulai tak dibutuhkan.

“Yang kita khawatirkan kan penurunan produksi secara terus-menerus. Ujung-ujungnya, pekerja yang kena. Kita kan enggak mau arahnya ke sana. Kita enggak mau nasib kita seperti Thailand, padahal ada 1,5 juta pekerja di sektor ini,” ungkapnya.

Kukuh menjelaskan, pengesahan PPN 12 persen dan opsen pajak membuat ‘perjuangan’ industri mobil akan lebih berat tahun depan. Bahkan, jika keduanya berjalan beriringan, bukan tak mungkin ada penurunan penjualan ekstrem ke level 500 ribu unit seperti era pandemi.

“Kalau itu diberlakukan, pasti turunnya akan tajam. Pada tahun ini saja, kita sudah revisi target dari 1 juta unit ke 850 ribu unit. Kalau ada opsen pajak dan PPN 12 persen, bisa jadi kita akan sama dengan saat pandemi, yaitu sekitar 500 ribu unit. Dampaknya tentu ada penurunan produksi,” tuturnya.

Kabarnya, opsen pajak atau pungutan tambahan pajak dalam persentase tertentu, diberlakukan mulai 5 Januari 2025, amanat Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Dari kebijakan ini, pemerintah provinsi dapat memungut opsen dari Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB). Sementara pemerintah kabupaten dan kota, bisa memungut opsen dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

Meski tujuan utamanya untuk menyelaraskan pembagian hasil, ketidakpastian terkait implementasi di tingkat daerah bisa menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri otomotif.

“Ketika terjadi kenaikan pajak di suatu daerah, kan ada peluang beli di daerah lain. Kami sudah simulasikan, 1 persen dari opsen itu turunkan penjualan 10 persen. Kalau 5 persen, turunnya (penjualan) sampai 23 persen. Nah ini, naiknya lebih dari 5 persen. Itu di luar PPN 12 persen yang rencananya diberlakukan 1 Januari 2025,” pungkasnya.