Upaya mengembangkan hilirisasi sawit demi mengelar nilai tambah yang membuat keuangan negara makin tebal, perlu segera diwujudkan. Langkah ini bukan tanpa hambatan. Tapi bukan berarti sulit hambatan itu tak bisa diatasi.
Ekonom Indef, Tauhid Ahmad menyebut, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sawit merupakan komoditas yang memberikan efek rambatan tertinggi ketimbang komoditas lain. Setiap investasi sawit, rata-rata surplusnya mencapai 66 persen, baik di hulu maupun hilirnya.
“Sawit juga memiliki keterkaitan yang tinggi, termasuk industri turunannya seperti makanan, minuman. 1,7 ini sangat tepat karena memiliki efek domino yang tinggi. Secara umum kontribusi terhadap PDB 1,3 persen. Cukup tinggi,” ujar Tauhid dalam sebuah diskusi di Jakarta, dikutip Rabu (12/2/2025).
Mengutip data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Tauhid melanjutkan, pekerjaan rumah dari Presiden Prabowo Subianto adalah rendahnya produksi serta penurunan ekspor.
Perlu upaya serius untuk meningkatkan produksi apalagi pemerintah mencanangkan program biodiesel yang cukup masif. “Ke depan, saya perkirakan industri minyak sawit menjadi tumpuan hilirisasi meski masih diperlukan tambahan perluasan lahan,” ungkapnya.
Pakar hukum pertanahan, Sadino menyebut Indonesia bakal kesulitan menambah luas lahan perkebunan sawit, lantaran terganjal Inpres Nomor 5 tahun 2019 yang masih berlaku.
“Kalau mau disegerakan untuk penambahan luas sawit, Inpres 5/2019 harus ditinjau ulang atau dicabut. Kalau tidak ditinjau kembali tidak akan ada penambahan yang tadi. Ini menjadi catatan,” ujar Sadino.
Selain itu, lanjut Sadino, PP Nomor 36 tahun 2024 tentang Perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk lahan juga menjadi penghambat. Artinya, PP yang diteken Jokowi pada September 2024, tidak ada investasi yang layak dalam pertanahan di Indonesia.
Guru Besar IPB University, Budi Mulyanto mengatakan, cita-cita Presiden Prabowo tentang swasembada energi dan perluasan area sawit, perlu didukung semua pihak. Sebab, sawit merupakan mesin ekonomi dan juga penyerap karbon yang baik.
“Jika ingin membangun pangan, energi, Indonesia harus urus sawitnya. Kita mesti paham, sawit merupakan mesin besar penghambat CO2. Ini sudah ada risetnya. Sangat mungkin dilaksanakan perluasan sawit. Ini tidak ada hubungannya dengan deforestasi,” ujar Kepala Pusat Studi Sawit IPB University itu.
Alasan lain, masih banyak lahan marjinal yang tidak mendukung biodiversitas yang belum digarap dengan baik. Saat ini, luas areanya mencapai 31,8 juta hektare (ha).
“Yang penting lagi bahwa Indonesia sangat mendukung perkembangan sawit karena Indonesia punya pengalaman budidaya selama 100 tahun. Perluasan sawit masih dimungkinkan karena banyak lahan marjinal yang belum digunakan maksimal,” ujarnya.
Dia juga menyoroti area hutan Indonesia masih sangat luas, persentasenya mencapai 51,7 persen. Sedangkan lahan untuk pertanian hanya 31 persen. Artinya, lahan untuk komoditas pangan lainnya hanya 0,088 persen.
Pengamat Industri Hilir Sawit, Sahat Sinaga menegaskan, Indonesia perlu meningkatkan nilai tambah sawit. Saat ini, harganya hanya US$800-US$900, menjadi US$3.000 per ton.
Perlu dikembangkan hilirisasi untuk memberikan nilai tambah bagi sawit asal Indonesia. Misalnya dengan membangun industri bio lubricant, bahan peledak, fatty alcohol, methyl esters, liquid detergent hingga farmasi.
Sahat menyampaikan, produk olahan dari biomass sawit, menghasilkan nilai tambah yang signifikan. Sehingga, pemerintahan Prabowo Subianto seharusnya melirik potensi ini.
“Kuncinya adalah hulunya diperbaiki dulu. Ditingkatkan produksi sawit dari 52,4 juta ton ke 70,5 juta ton pada 2029. Lalu tuntaskan penyelesaian kebun petani masuk ‘hutan’ secepat-nya, dan terbitkan sertifikasi lahan-lahan petani,” tegas Sahat.