Industri Tekstil Indonesia Sekarat Karena Gempuran Produk China

Secara spesifik penurunan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) juga disebabkan oleh gempuran barang impor serta ekonomi global, termasuk perang Rusia dan Ukraina yang tak kunjung membaik.

Perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang pada Kamis (24/20/2024). Sritex disebut memiliki masalah utang yang menggunung.

Pailitnya Sritex mengindikasikan kondisi industri tekstil dalam negeri melemah. Pengamat ekonomi keuangan Yanuar Rizki menilai Sritex tidak mampu menghadapi tekanan global dari kondisi pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina yang memengaruhi penurunan ekspor tekstil dan garmen. 

Ini diperparah dengan gempuran produk-produk impor ilegal yang masuk ke Indonesia. “Kondisi sektor tekstil kita melemah. Ini diikuti oleh maraknya impor baju bekas ilegal,” ujar Yanuar.

Kesulitan operasional tak hanya dialami Sritex, tapi juga dirasakan secara nasional. Menurut ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana, menurunnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mulai terasa sejak 2023. Hal ini disebabkan oleh naiknya suku bunga, sehingga menyebabkan biaya modal tinggi.

Secara spesifik, kata Andri, penurunan industri TPT juga disebabkan oleh gempuran barang impor serta ekonomi global, termasuk perang Rusia dan Ukraina yang tak kunjung membaik.

Advertisement

Untuk kasus melemahnya industri TPT di Indonesia, Andri menyebut pasca pandemi COVID-19 pemulihan ekonomi Tanah Air sebenarnya terbilang cukup bagus secara global. Demand atau permintaan di Indonesia masih bagus, sementara di negara lain termasuk Eropa justru sangat rendah.

Melemahnya permintaan di negara lain membuat industri TPT kesulitan meningkatkan ekspor. Hal yang sama juga dirasakan negara-negara pelaku bisnis tekstil lainnya, seperti China, Vietnam, Bangladesh, dan India. Permintaan global yang melambat menimbulkan oversupply di China.

Mengakali hal ini, China melakukan gebrakan mengekspor barang ke negara berkembang, salah satunya Indonesia yang memang tingkat permintaannya masih baik-baik saja selepas pandemi. China berhasil menjual barang-barang industri TPT dengan harga murah atau lebih dikenal dengan sebutan dumping.

Tapi ini kemudian menjadi bumerang untuk industri TPT dalam negeri, karena barang-barang dari Negeri Tirai Bambu justru membanjiri Indonesia. Peminatnya makin tinggi, dan pada akhirnya Indonesia tidak bisa bersaing dengan produk China yang dijual dengan harga sangat murah.

Padahal sebagai negara berkembang, Indonesia sangat bergantung pada industri tekstil, seperti halnya Vietnam dan Bangladesh. Dua negara tersebut, menurut Andri, sampai sekarang masih baik-baik saja karena memang tidak membiarkan China memasukkan produknya secara jor-joran.

Industri TPT adalah salah satu industri padat karya yang berkontribusi penting pada perekonomian nasional. Data 2022 menunjukkan industri ini menyerap kurang lebih 3,6 juta orang tenaga kerja dan menyumbang 6,38 persen PDB dari sektor nonmigas. Namun demikian, kinerja industri tekstil Indonesia sepanjang 2022 mengalami penurunan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia hanya mencapai 1,5 juta ton, atau turun 17 persen dibandingkan pada 2021. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pada awal pandemi COVID-19.

Industri TPT lebih dari sekadar penopang ekonomi. Industri ini adalah penopang pendapatan masyarakat karena menyerap tenaga kerja sangat besar. Menurunnya industri TPT menyebabkan penyerapan tenaga kerja berkurang.

“Faktanya sekarang ini lebih banyak pekerja di sektor informal dibandingkan formal, sehingga menyebabkan menurunnya jumlah kelas menengah dalam lima tahun terakhir,” ujar Andri.

“Sekarang ini pemerintah fokus hilirisasi nikel dan tambang. Kalau dari penyerapan tenaga kerja, industri ini hanya menyerap dua persen,” kata dia, melanjutkan.

Dalam kondisi sekarang ini, butuh industri dengan penyerapan tenaga kerja yang besar. Kalau penyediaan pekerjaan tidak layak, mayoritas tenaga kerja saat ini adalah pekerja informal, dan ini tidak aman karena tidak bisa mengangkat masyarakat ke kelas menengah. Sektor industri yang menyerap tenaga kerja seharusnya diberikan biaya modal lebih murah.

Selain itu, tekstil dalam negeri tidak bisa bersaing kalau impor ilegal terus masuk, tidak bayar pajak, dan politik dumping. Maka harus dipastikan barang ilegal harus tidak bisa masuk lagi.