Industri yang Makin Gelap


Sektor industri yang selama ini dibanggakan sebagai tulang punggung ekonomi nasional, kini mulai kehilangan nyawanya secara perlahan tapi pasti. Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia anjlok ke level 46,7 pada April 2025. Ini merupakan sinyal kontraksi tajam yang membuat dada sesak.

PMI di bawah angka 50 berarti industri tidak sedang berlari, bahkan tidak berjalan—ia tersungkur. Penurunan 5,7 poin dibanding Maret lalu adalah penurunan terdalam sejak Agustus 2021. Ini bukan sekadar angka. Ini alarm keras bahwa mesin pertumbuhan kita mulai demam.

PMI adalah cermin dari denyut produksi dan permintaan. Ketika keduanya serentak menurun, baik dari dalam maupun luar negeri, itu artinya permintaan terhadap barang-barang buatan Indonesia sedang stagnan. Dunia usaha membaca ini sebagai pertanda: mereka harus menahan diri, mengencangkan ikat pinggang, bahkan mem-PHK.

Sementara pemerintah terus berbicara soal hilirisasi, realitasnya adalah industri kita malah semakin merosot. Pada kuartal I-2025, sektor industri pengolahan hanya tumbuh 4,55% (yoy), turun dari 4,89% pada kuartal sebelumnya. Kontribusinya terhadap PDB memang masih 19,25%, tetapi angka itu menipu rasa aman.

Yang mengkhawatirkan adalah penurunan industri nonmigas menjadi 17,50%. Memang penurunan hanya 0,03 poin dibanding periode yang sama tahun lalu, tetapi dalam ekonomi, tren lebih penting daripada selisih. Jangan sampai ke depan tren itu terus menurun. Kalau dibiarkan, industri akan menjadi seperti dinosaurus: besar, lambat, dan punah tanpa disadari.

Beberapa industri kita masih sangat tergantung pada bahan baku impor. Dan rupiah yang melemah 1,74% sepanjang tahun berjalan (year to date) hingga Rp16.550 per dolar AS pada 9 Mei 2025 adalah hantaman tambahan. Bahkan pada 10 April lalu, rupiah sempat melemah hingga Rp16.823 per dolar AS (4,28% year to date). Dampaknya, biaya produksi naik, margin keuntungan terkikis, dan banyak pelaku industri mulai menjerit dalam diam.

Apa yang terjadi hari ini bukan sekadar siklus. Ini kombinasi dari lemahnya daya saing, ketergantungan struktural, dan ketidakmampuan beradaptasi dengan gejolak global.

Bukan hanya mesin pabrik yang melambat. Manusia di baliknya juga ikut merasakan dampaknya. Angka pengangguran meningkat 83 ribu orang pada Februari 2025 dibandingkan Februari 2024. Ini bukan sekadar statistik, ini wajah-wajah rakyat yang kehilangan penghasilan.

Per Februari 2025, jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang. Angka ini bahkan lebih tinggi dari Februari 2020, masa sebelum pandemi, yang berada di 6,93 juta. Bukankah seharusnya kita belajar dari krisis? Kenapa justru kita terjebak dalam lubang yang sama?

Terlalu lama kita terlena pada narasi optimisme pertumbuhan ekonomi makro. Padahal, tanpa basis industri yang kuat dan berdaya saing, angka-angka itu hanyalah hiasan etalase. Industri bukan hanya soal pabrik dan ekspor, tapi tentang pekerjaan layak, keterampilan, dan masa depan.

Seperti yang dikatakan Dani Rodrik, profesor dari Harvard dan tokoh terkemuka dalam ekonomi pembangunan, tidak ada negara yang maju tanpa proteksi dan keberpihakan pada industrinya. Tapi Indonesia tampaknya malah membiarkan industrinya digerogoti.

Ini saatnya bicara jujur. Sudah terlalu lama kita menyerahkan industri pada logika pasar bebas dan investasi asing. Tanpa perisai yang memadai, industri domestik kita tersapu oleh persaingan tidak adil, beban logistik, dan regulasi yang saling bertabrakan. Kalau begini terus, kita akan menjadi negara konsumen selamanya. Pemenang Nobel Ekonomi tahun 2001, Michael Spence, juga mengungkapkan bahwa pertumbuhan jangka panjang akan sulit dicapai tanpa transformasi industri yang terstruktur dan terencana.

Kita bisa belajar dari Jerman, Korea Selatan, atau bahkan Vietnam yang kini menjelma sebagai kekuatan manufaktur baru di Asia. Mereka menjaga ekosistem industri dengan disiplin, memberikan insentif yang tepat, dan memastikan tenaga kerja dilatih sesuai kebutuhan masa depan.

Pemerintah harus hadir, bukan sekadar menjadi juru bicara statistik. Industri butuh kepastian—baik energi, insentif fiskal, dan akses pembiayaan—serta kebijakan yang pro terhadap industri lokal. Jangan biarkan hanya konglomerat besar yang bisa bertahan, sementara industri kecil-menengah terus tertatih tanpa daya.

Lebih dari itu, industri butuh perlindungan dari volatilitas nilai tukar. Sudah saatnya Indonesia membangun kembali strategi substitusi impor yang cerdas dan terukur. Hal tersebut dapat dimulai dengan membuat database nasional untuk bahan baku impor prioritas, termasuk melihat kapasitas produksi industri tersebut baik yang eksisting maupun yang potensial.

Selanjutnya, pemerintah perlu memberikan insentif seperti tax holiday dan pembiayaan murah secara khusus untuk industri yang fokus pada substitusi bahan baku impor. Pemerintah juga perlu membangun ekosistem local content yang berdaya saing antara industri besar dengan UMKM. Pemerintah juga perlu mengkaji ulang regulasi impor agar tidak memberatkan dan melemahkan industri dalam negeri.

Jika industri adalah tulang punggung, maka tenaga kerja adalah jantungnya. Saat dua-duanya lemah, ekonomi akan pincang. Kita bisa saja membanggakan pertumbuhan ekonomi 5%, tapi kalau pengangguran meningkat dan daya beli merosot, itu bukan kemajuan—itu kemunduran yang disamarkan.

Pemerintah harus menyiapkan transformasi struktural yang sesungguhnya, bukan sekadar kosmetik kebijakan. Investasi dalam pendidikan vokasi, digitalisasi industri, dan pembukaan pasar baru harus menjadi prioritas. Jangan habiskan energi hanya pada hilirisasi tambang, sementara industri ringan dibiarkan sekarat.

Industri tidak butuh seremoni. Yang dibutuhkan adalah kepastian, keberpihakan, dan konsistensi. Jika arah industrialisasi tidak diperjelas, maka Indonesia hanya akan terus menjadi basis produksi upahan rendah yang mudah digantikan.

Ini bukan sekadar tanggung jawab Kementerian Perindustrian atau BKPM. Ini tanggung jawab negara. Negara yang membiarkan industrinya ambruk, sama saja menggali lubang kemiskinan massal di masa depan. Di sini tugas negara adalah memastikan pengembangan industri itu berlangsung adil dan berkelanjutan.

Industri adalah ruang di mana inovasi, teknologi, dan produktivitas berinteraksi. Tapi tanpa dukungan institusi yang kuat dan keberanian politik, ruang itu akan menjadi gelap, pengap, dan ditinggalkan. Kita akan kehilangan kesempatan emas untuk menciptakan nilai tambah di dalam negeri.

Sekarang adalah waktu untuk berpikir ulang. Apakah kita ingin menjadi bangsa produsen atau sekadar konsumen? Apakah kita ingin menyerap tenaga kerja atau menciptakan pengangguran baru? Keberpihakan pemerintah dalam mendukung industri domestik akan menjadi jawabannya.

Sudah waktunya pemerintah keluar dari zona nyaman. Jangan tunggu industri ambruk total baru kita tersadar. Jangan tunggu investor kabur, baru kita menyesal. Industri yang makin gelap hari ini hanya bisa diterangi dengan keberanian membuat kebijakan yang berpihak dan berpikiran jauh ke depan.