Insiden Silfester Matutina dan Bayang-bayang Kleptoidiokrasi

Nichols menyatakan bahwa salah satu masalah utama yang dihadapi masyarakat modern adalah penolakan terhadap kepakaran. Ketika masyarakat berhenti menghargai pentingnya pengetahuan dan keahlian, mereka cenderung memilih pemimpin yang tidak berdasarkan kualifikasi, tetapi lebih kepada popularitas dan kemampuan memainkan opini publik. Ini menciptakan situasi di mana individu-individu yang tidak layak, baik dari segi moral maupun intelektual, bisa menduduki posisi penting dalam pemerintahan.

Oleh: Darmawan Sepriyossa

Jika dalam beberapa tahun terakhir kekhawatiran dan kecemasan terhadap arah pemerintahan di negeri ini mengemuka, bisa jadi sejak Selasa (3/9/2024) malam lalu, hal itu kian memuncak. Bukan hanya karena kasus korupsi yang tak kunjung usai, tetapi juga karena penurunan kualitas intelektual orang-orang yang duduk, dan mereka yang melingkarinya di lingkaran kekuasaan. 

Di Selasa itu, lewat tayangan langsung sebuah talk-show di stasiun televisi iNews, kita melihat betapa kredibilitas intelektual seperti kian tak berguna dalam kepemimpinan –atau lingkaran kekuasaan– negeri ini. Tentu, saya tak harus memutar ulang insiden yang terjadi antara Ketua Umum Solidaritas Merah Putih, Silfester Matutina, dengan dosen Universitas Indonesia, Rocky Gerung. 

Fenomena ini menandakan negeri ini tengah mendekati kondisi yang bisa disebut sebagai kleptoidiokrasi—negara yang dipimpin oleh para pencuri yang juga kurang cerdas. Istilah kleptoidiokrasi, gabungan dari “kleptokrasi” dan “idiokrasi”, secara sinis mencerminkan pemerintahan yang korup dan bodoh. Di negara seperti ini, kekuasaan tidak hanya berada di tangan mereka yang secara sistematis merampas kekayaan negara, tetapi juga dipegang oleh orang-orang yang intelektualitas dan kapabilitasnya meragukan. Fenomena ini terlihat semakin nyata dalam beberapa kasus yang baru-baru ini menjadi perbincangan publik.

Ketika Matutina tampil dalam debat di iNews, yang seharusnya menjadi arena pertukaran gagasan yang sehat, publik justru disuguhi pertunjukan memalukan dari seorang inner circle kekuasaan yang gagal menunjukkan kedalaman berpikir. Setelah diskusi tersebut, alih-alih merenungkan kritik yang diterimanya, ia tetap berkukuh dan menunjukkan bahwa ia tidak menyadari posisinya yang tengah dihujat karena ketidakmampuannya. Ini hanyalah salah satu contoh kecil dari gejala kleptoidiokrasi yang kini semakin nyata.

Tak hanya dari sisi individu, ketidakmampuan institusi pendidikan tempat Matutina berasal, Universitas Wiraswasta Indonesia, dalam menjaga standar akademik turut menjadi sorotan. Bagaimana mungkin figur seperti itu bisa masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dan diberi tanggung jawab besar? Di sinilah letak persoalan sistemik yang memungkinkan orang-orang yang tak layak secara intelektual mengisi posisi-posisi penting.

Konteks “Matinya Kepakaran”

Fenomena ini sangat relevan dengan pemikiran Tom Nichols dalam bukunya “Matinya Kepakaran—The Death of Expertise“. Nichols menjelaskan bagaimana masyarakat modern semakin menolak otoritas pakar dan memilih untuk mempercayai opini yang tidak berbasis pengetahuan. Tren anti-intelektualisme ini sangat berbahaya bagi kualitas kepemimpinan dan kebijakan publik, karena pemimpin-pemimpin yang dipilih berdasarkan popularitas atau keberpihakan politik sering kali tidak memiliki kapasitas intelektual yang diperlukan untuk memimpin.

Dalam kasus Silfester Matutina, yang ketidakmampuannya dalam berdebat di forum publik menjadi bahan cemoohan di media sosial, kita dapat melihat bagaimana media digital memperburuk situasi ini. Media sosial membuka ruang bagi setiap individu untuk menyuarakan opininya, terlepas dari apakah mereka memiliki latar belakang atau pengetahuan yang kredibel. Ini memudahkan individu seperti Matutina, yang mungkin kurang kompeten secara intelektual, untuk tetap relevan di mata publik.

Nichols menyatakan bahwa salah satu masalah utama yang dihadapi masyarakat modern adalah penolakan terhadap kepakaran. Ketika masyarakat berhenti menghargai pentingnya pengetahuan dan keahlian, mereka cenderung memilih pemimpin yang tidak berdasarkan kualifikasi, tetapi lebih kepada popularitas dan kemampuan memainkan opini publik. Ini menciptakan situasi di mana individu-individu yang tidak layak, baik dari segi moral maupun intelektual, bisa menduduki posisi penting dalam pemerintahan.

Lebih jauh lagi, Nichols berargumen bahwa matinya kepakaran ini akan berujung pada pembuatan kebijakan yang lemah dan tidak berbasis data. Itu karena pengambil keputusan tidak lagi memedulikan suara dari mereka yang memahami masalah secara mendalam. Ini sangat relevan dalam konteks kleptoidiokrasi, di mana orang-orang yang menduduki posisi strategis sering kali lebih peduli pada kekuasaan pribadi daripada kesejahteraan publik.

Bahaya Kebodohan dalam Kekuasaan dan “Bullshit Jobs

Selain pemikiran Nichols, teori Hannah Arendt juga relevan untuk memahami bahaya kebodohan dalam kekuasaan. Dalam bukunya “The Origins of Totalitarianism“, Arendt menyoroti bagaimana pemerintahan yang otoriter sering kali diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten karena sistem demokrasi mengalami erosi. Arendt memperingatkan bahwa ketika kebodohan dan ketidakpedulian terhadap kenyataan menguasai pemerintahan, maka tatanan masyarakat akan runtuh.

Dalam konteks Indonesia saat ini, kita melihat bagaimana wacana populis dan kebijakan yang tidak berbasis pada fakta mulai mendominasi diskursus publik. Pemimpin-pemimpin yang kurang cakap bisa tetap memegang kekuasaan meskipun kredibilitasnya diragukan karena kemampuan untuk memanipulasi persepsi publik. Arendt menyatakan bahwa kebodohan dalam kekuasaan, terutama yang didukung oleh kekuatan propaganda dan birokrasi yang korup, akan menghancurkan struktur sosial dan kepercayaan publik terhadap negara.

Lebih kekinian, David Graeber dalam bukunya “Bullshit Jobs: A Theory” mengeksplorasi bagaimana banyak posisi dalam birokrasi modern diisi oleh individu yang tidak memiliki kontribusi nyata, tetapi tetap dipertahankan karena mereka bagian dari sistem yang lebih besar. Graeber menyatakan bahwa dalam sistem ini, posisi-posisi yang tidak esensial dipertahankan untuk menjaga stabilitas politik dan ekonomi yang palsu.

Ini sangat relevan dengan fenomena kleptoidiokrasi di Indonesia, di mana posisi pemerintahan diisi oleh individu yang tidak cakap tetapi memiliki hubungan politik yang kuat. Mereka para medioker bisa mendapatkan posisi strategis bukan karena kompetensi, melainkan karena jaringan politik atau kepentingan tertentu. Birokrasi yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak layak ini menciptakan ketergantungan pada pekerjaan yang tidak produktif, yang justru memperburuk sistem dan mempercepat kemerosotan sosial.

Kleptoidiokrasi: Gejala dan Akibatnya

Gabungan antara kebodohan dan korupsi dalam kekuasaan membawa konsekuensi yang berbahaya. Kleptoidiokrasi merusak tatanan sosial dan menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Ketika masyarakat melihat bahwa orang-orang yang tidak cakap secara intelektual dan moral bisa menduduki jabatan penting serta memperkaya diri mereka sendiri, maka wajar jika rasa apatis dan ketidakpercayaan mulai menyebar.

Di negara-negara lain, seperti Venezuela dan Zimbabwe, gejala serupa mengakibatkan krisis ekonomi dan sosial yang dalam. Korupsi dan kebijakan yang buruk berakar dari ketidakmampuan pemimpin untuk memahami masalah yang mereka hadapi, dan hasilnya adalah runtuhnya tatanan politik dan ekonomi. Indonesia menghadapi ancaman yang sama jika tidak ada perubahan mendasar dalam cara kita memilih pemimpin dan mengawasi kinerja mereka.

Nichols dalam “Matinya Kepakaran” menekankan pentingnya masyarakat untuk kembali menghargai kepakaran. Tanpa pakar, kebijakan yang dihasilkan akan selalu lemah dan tidak efektif. Masyarakat harus lebih selektif dalam memilih pemimpin dan tidak hanya bergantung pada figur-figur yang pandai berbicara tetapi tidak memiliki kapasitas intelektual untuk memimpin. Kita harus melawan kecenderungan anti-intelektualisme dan populisme yang saat ini merajalela dengan mendorong debat publik yang sehat dan berbasis data.

Kleptoidiokrasi hanya bisa dilawan jika masyarakat menuntut pemimpin yang tidak hanya jujur, tetapi juga kompeten. Jika tidak, masa depan bangsa ini akan terancam oleh kebijakan-kebijakan yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan dan dikuasai oleh mereka yang lebih peduli pada keuntungan pribadi daripada kesejahteraan rakyat.