Kanal

Interpelasi dan Pemakzulan Presiden Terhalang Pesta Demokrasi


“Lebih mudah memaafkan musuh daripada memaafkan seorang teman.” – William Blake.

Mungkin anda suka

Pernyataan penyair asal Inggris ini nampaknya bisa menggambarkan suasana kebatinan para politisi dari parpol pengusung Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode 2014 dan 2019, karena pada 2024 ini mereka memilih untuk berjalan masing-masing.

Akibat dari keputusan untuk berpisah ini membuat banyak konsekuensi besar khususnya bagi Presiden Jokowi. Maklum saja di ujung masa pemerintahannya ini, mantan wali kota Surakarta itu banyak dikritik dan diserang lewat berbagai isu mulai dari politik dinasti karena menghalalkan segala cara untuk mengusung putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres 2024 hingga cawe-cawe dalam kasus hukum seperti korupsi e-KTP.

Serangan yang datang bertubi-tubi ke Jokowi ini seakan ingin menunjukkan rasa kekecewaan mereka, para kolega dan tokoh parpol pengusung atas sikap presiden di Pemilu 2024.

Belakangan memang Jokowi terkesan sudah meninggalkan PDI Perjuangan (PDIP) sebagai parpol yang punya jasa besar mengantarkannya sebagai orang paling berkuasa di republik ini. Bahkan ada yang menyebut jika Jokowi saat ini sudah mirip seperti ‘Raja Jawa’ karena banyak dihormati dan dikagumi meski beberapa kebijakannya kadang tidak menguntungkan rakyat.

Meski aura Jokowi di mata rakyat masih tetap positif, namun untuk para kolega khususnya mereka yang pernah berjuang atau bekerja sama di awal pemerintahan justru menunjukkan sikap sebaliknya. 

Belakangan muncul beberapa pengakuan tokoh atau mantan pejabat negara yang membongkar soal sifat asli Jokowi saat menjabat sebagai presiden.

Seperti mantan Ketua KPK, Agus Raharjo yang mengaku sempat dipanggil oleh Jokowi ke Istana untuk membahas soal kasus e-KTP. Agus menyebut saat itu Jokowi marah dan meminta KPK menghentikan kasus tersebut.

Ada juga pernyataan dari mantan Menteri Agama Fachrul Razi yang mengaku dicopot sebagai menteri akibat menolak pembubaran ormas Front Pembela Islam (FPI). Selain itu ada beberapa pihak lagi yang membongkar soal ‘kelakuan’ Jokowi saat berkuasa kurang lebih 9 tahun.

DPR ‘Masuk Angin’ Dorong Hak Interpelasi

Kasus e-KTP yang diungkap oleh eks Ketua KPK Agus Raharjo menjadi menarik karena menyeret nama mantan Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto.

Bahkan dengan ‘speak up’ Agus ini memunculkan desakan dari publik agar DPR menggunakan Hak Interpelasi untuk memanggil Presiden Jokowi guna menjelaskan tudingan soal e-KTP.

post-cover
Presiden Jokowi bersama Ketua DPR Puan Maharani saat sidang paripurna RAPBN 2024 – (Foto: Sinpo)

Namun desakan publik soal Hak Interpelasi ini nampaknya ditanggapi dingin oleh DPR. Mereka menilai penggunaan Hak Interpelasi ini tidak perlu dilakukan dalam kasus e-KTP.

Parpol koalisi pemerintah saat ini di DPR seperti PDIP dan NasDem juga kompak tidak akan mendorong adanya Hak Interpelasi ini. Sebab menurut mereka apa yang disampaikan Agus Raharjo tersebut sudah tidak relevan lagi alias ‘basi’.

“Kalau masalah korupsi e-KTP  kan sudah selesai, karena pak Agus tidak menuruti  permintaan Jokowi untuk menghentikan penyidikan ini. Jadi clear,” kata Anggota Fraksi PDIP DPR, TB Hasanuddin kepada Inilah.com.

Senada dengan PDIP, Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai NasDem, Ahmad Ali juga mengatakan jika isu yang disampaikan Agus sudah tidak relevan lagi jika melihat dengan fakta di persidangan. Sebab aktor seperti Setya Novanto yang disebut menjadi alasan kemarahan Presiden Jokowi meminta menghentikan penyidikan kasus korupsi e-KTP sudah divonis dan dipenjara atas kasus tersebut.

Dengan fakta itu artinya Hak Interpelasi sudah tidak urgent lagi untuk didorong oleh DPR. “Interpelasi itu kalau diduga Pak Jokowi benar melakukan intervensi kan? Tapi kan Setya Novanto di penjara. Jadi kan tidak relevan,” imbuh Ali saat dikonfirmasi Inilah.com.

Hal Interpelasi sendiri sebenarnya harus melalui beberapa proses untuk akhirnya bisa direalisasikan. Proses pertama hak tersebut harus diusulkan oleh minimal oleh 25 orang anggota DPR dari berbagai fraksi. Jika syarat itu terpenuhi, maka usulan para inisiator Hak Interpelasi itu akan dibawa ke rapat Paripurna DPR di akhir masa sidang untuk mendapatkan persetujuan 2/ 3 Anggota Dewan.

Namun perlu diingat Hak Interpelasi ini hanya punya waktu dua kali masa sidang untuk mendapatkan persetujuan di paripurna, sebab jika lewat dari itu maka hak tersebut akan dinyatakan gugur atau mengulang dari awal lagi.

Berkaca dari aturan tersebut maka masuk akal jika anggota DPR tidak begitu bersemangat untuk menggulirkan Hak Interpelasi. Sebab selain saat ini sudah masuk pada masa reses, mereka juga sudah akan mulai disibukkan dengan kampanye-kampanye Pileg dan Pilpres 2024.

Hak Interpelasi Bisa Picu Pemakzulan Presiden

post-cover
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Muchamad Ali Safa’at (Foto: Antara)

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Muchamad Ali Safa’at mengatakan jika Interpelasi DPR itu bisa berujung kepada pemakzulan terhadap presiden jika dalam Interpelasi itu ditemukan adanya dugaan pelanggaran.

Namun hal itu perlu didukung dengan penggunaan hak-hak lainnya di DPR seperti Hak Angket atau hak DPR untuk melakukan penyelidikan.
Selain itu, Ali mengingatkan jika Interpelasi DPR yang bisa berujung terhadap pemakzulan DPR juga sudah tertuang dalam UUD 1945 yang mencakup beberapa kasus tertentu. Contohnya pengkhianatan terhadap negara, korupsi, suap, tindak pidana berat, dan perbuatan tercela.

Jika memenuhi alasan tersebut, DPR bisa menggunakan hak menyatakan pendapat dan mengajukan ke MK untuk memutus apakah pendapat itu terbukti atau tidak.

“Jika MK memutus pendapat DPR terbukti, DPR melakukan sidang untuk memutuskan mengajukan pemakzulan ke MPR. Lalu MPR memutuskan apakah memakzulkan atau tidak,” imbuhnya. [Ajat/ Vonita Betalia/ Riski Aslendra]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button