Mungkin tak banyak yang tahu, Bank Central Asia (BCA) yang asetnya sekitar Rp1.400-an triliun, diduga masih kemplang duit Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang nilainya nyaris Rp27 triliun. Tepatnya Rp26,596 triliun.
Hal itu disampaikan eks Staf Ahli Utama Pansus BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Hardjuno Wiwoho di Jakarta, dikutip Rabu (7/8/2024). Dalam catatan Pansus BLBI DPD, pemerintah telah menggelontorkan dana BLBI sebesar Rp718 triliun ke sejumlah bank, triliun, termasuk BCA. “BCA itu masih memiliki sisa utang di dalam catatan bukunya itu Rp26,596 triliun,” kata Hardjuno.
Sejak 2003, kata Hardjuno, BCA menerima subsidi bunga obligasi rekap per tahun sebesar Rp7 triliun. Bahkan dalam catatan pemerintah, BCA juga menerima obligasi rekap, totalnya mencapai Rp60,8 triliun.
“Sekarang menjadi suatu dilema dan memprihatinkan. Karena, tanggungan itu akan dikatakan beban pemilik lama. Sedangkan pemilik lama akan mengatakan itu sudah diserahkan ke pemerintah. Ya termasuk utang-utangnya, kan begitu kira-kira,” tutur Hardjuno.
Sedangkan jika dikejar ke pemilik anyar BCA, lanjut Hardjuno, tetap saja rumit. “Pemilik baru BCA akan menyatakan, itu bukan utang saya. Jadi pemerintah memang dilematis,” sambung Hardjuno.
Hardjuno mempertanyakan alasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mendiamkan dana besar tersebut. “Pada saat ini, BPK sebagai lembaga yang berwenang untuk menagih, malah tidak menagih. Terlarut dalam situasi dilematis,” jelas Hardjuno.
Pada 2023, Hardjuno sempat memanggil pemilik BCA, Robert Budi Hartono untuk hadir dalam sidang Pansus BLBI DPD. Sayangnya, pemilik Djarum Group itu tak hadir. Dia hanya mengutus seorang staf dengan alasan sedang mendampingi keluarganya yang sakit.
“Dia (Budi Hartono) menyampaikan, tidak memiliki informasi soal BLBI di BCA. Karena itu terjadi sekitar 1998. Dia (Budi Hartono) jadi pemilik BCA pada 2002, itu sahamnya 51 persen. Pembeliannya lewat BPPN pada 14 Maret 2002. Terkesan kuat, Pak Budi Hartono melempar kewajiban BLBI lampau ke pemilik lama BCA,” terangnya.
Dalam hal ini, Hardjuno melihat adanya kejanggalan dalam pembelian 51 persen saham BCA pada 2002. Karena harga terlalu murah. Kala itu, nilai total saham BCA sebesar Rp117 triliun, namun 51 persen sahamnya dijual dengan harga obral, hanya Rp5 triliun saja.
“Sebesar 51 persen saham BCA yang totalnya Rp117 triliun, harusnya dibeli sekitar Rp60-an triliun dong,” pungkas Hardjuno.