Kanal

Islam, Demokrasi dan Keadilan Sosial: Catatan Atas Pidato Dato’ Seri Anwar Ibrahim

Seorang pemimpin selayaknya bekerja untuk memaksimalkan seluruh potensi yang ada demi kesejahteraan rakyat. Keadilan sosial menjadi kata kuncinya. Menjadi pemimpin harus dicapai melalui cara-cara yang beradab, tidak curang. Setelah menjadi pemimpin harus pula menepati janjinya dengan merujuk pada democratic accountability.

Oleh Dr Syahganda Nainggolan- Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

Dato’ Seri Anwar Ibrahim memberikan ceramah memukau di hadapan ratusan tokoh yang menyesaki Auditorium Bank Mega, Jakarta Senin (9/1/2023) siang. Ceramah bertemakan “Leadership” diinisiasi Chairman CT Corp Chairul Tanjung. Saya bersama pimpinan KAMI, Gatot Nurmantyo, Hafid Abas, MS Ka’ban, Bachtiar Chamsyah dan Jumhur Hidayat mendapat kesempatan yang amat berharga atas undangan CT Corp.

Mengapa Anwar Ibrahim memukau? Pertanyaan ini menjadi pembahasan di internal kami. Kita akan menguraikan dua hal besar, yakni sosok Anwar Ibrahim dan pikirannya.

Sosok ini terlihat dalam gaya orasinya di podium. Dia benar-benar singa podium. Matanya tajam seperti elang. Menatap seluruh sudut audiens yang hadir. Bicaranya lugas dan detail, tidak membiarkan audiens menerka-nerka makna. Dia berusaha pula membuat bahasa yang kurang dikenal di Malaysia, seperti oligarki atau konglomerat di Indonesia, terpahami.

Audiens ditarik Anwar untuk berinteraksi dengan dirinya, seakan-akan dia tidak berjarak, dia berbicara tentang manusia dan nilai-nilai. Dia juga berbicara tentang dirinya, kehidupan pribadinya, cita-citanya berdasarkan pengalaman hidup yang penuh liku.

Lalu bagaimana pikiran Anwar Ibrahim? Dia berbicara tentang tiga hal, yakni Islam, demokrasi dan keadilan, yang terkait dengan tema kepemimpinan. Dia mengutip banyak tokoh dan pemikir Islam, seperti Sayyidina Ali, Ibnu Rusdi, dan Al Ghazali, juga mengutip Qur’an Surah As-Shaff, dan hadist tentang kepemimpinan.

Dari sini terlihat bahwa Anwar Ibrahim menghubungkan seluruh pemikiran dia pada nilai-nilai Islam. Bahkan, ketika menyinggung sikap optimisme yang selalu dia miliki, harus terkait pula dengan Tuhan YME.

Kepemimpinan menurutnya harus dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Ini sesuai dengan hadist Nabi, “Kamu itu adalah pemimpin di muka bumi, tapi akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat”.

Pemimpin harus menjadi teladan. Tidak boleh seorang pemimpin menjanjikan sesuatu, tapi tidak melakukannya. Dia meyakini bahwa seluruh masalah suatu bangsa, solusinya di mulai dari seorang pemimpin. Oleh karenanya, kita harus menemukan sosok pemimpin yang baik.

Dalam melihat Islam, sebagai sebuah ajaran, Anwar Ibrahim mendorong isu critical thinking. Umat Islam tidak boleh terjebak dalam taqlik buta. Akal yang diberikan Tuhan harus digunakan supaya manusia tidak salah menafsirkan ajaran agama. Inilah keluasan pikiran Anwar Ibrahim ketika melihat seputar kontroversi pemikiran Ibnu Rusd versus Al-Gahzali, tentang Incoherence of Philosophy.

Kita masuk pada isu demokrasi. Islam menurut Anwar harus percaya pada demokrasi. Pemimpin, misalnya, harus mendengar suara orang-orang di sekitarnya. Juga harus menyerap aspirasi dan keinginan rakyat. Menjadi pemimpin harus mengikuti proses yang benar.

Dia merujuk pikiran Fukuyama tentang democratic accountability, yang mengingatkan jangan  melakukan pemilu secara curang. Kalau sudah berkuasa harus delivery. Maksudnya, dalam istilah Anwar, sesuaikan perkataan dengan perbuatan.

Demokrasi juga harus mempertimbangkan keadilan hak-hak kaum minoritas. Meskipun Islam mengajarkan ukhuwah Islamiyah, Islam menurutnya juga harus melingkupi ukhuwah insaniyah atau persaudaraan sesama manusia.

Intinya seorang pemimpin itu harus berpikir tentang keadilan untuk semua. Hal ini dirujuk Anwar pada kasus penunjukan gubernur Mesir di era Khalifah Ali Bin Abi Thalib, di mana kalifah memerintah gubernur Mesir berbuat adil tanpa melihat perbedaan agama rakyatnya.

Mengapa Anwar Ibrahim begitu kental berbicara demokrasi? Tentu saja hal itu tak lepas dari sejarah penderitaan panjangnya, yang hidup dari penjara ke penjara. Dia mengungkapkan bahwa 10 tahun dia di penjara, telah mengajarkan dia tentang makna kebebasan. Freedom sepertinya sudah terpatri dalam kalbunya.

Kita sekarang melihat bagaimana Anwar Ibrahim memandang keadilan.

Menurutnya, hidup ini tidak bermakna jika tidak bermanfaat untuk orang-orang miskin. Pemihakan pada orang miskin bersifat universal. Ketika dia mengungkapkan pembicaraannya dengan Jokowi, tentang tenaga kerja Indonesia (TKI), yang masih kurang sejahtera, Anwar berjanji pada Jokowi bahwa kesejahteraan TKI akan berubah lebih baik di era dia, yang belum pernah terjadi di era pemerintahan Malaysia sebelum ini.

Janji ini dia sampaikan bukan karena TKI itu orang Indonesia, tapi lebih karena masalah humanity. Datuk Anwar sensitif pada nasib orang miskin. Bahkan dia mengatakan, penderitaan yang dialaminya di penjara, tidak bermakna jika dibandingkan dengan penderitaan rakyat.

Selanjutnya Anwar melihat bahwa negara harus meletakkan fungsi kapital untuk kepentingan sosial. Katanya, kapital penting untuk menjalankan roda pembangunan sebuah negara. Namun, menurutnya nasib rakyat jauh lebih penting. Oleh karenanya, pemimpin beserta seluruh stake holders bangsa harus bersinergi untuk mensejahterakan rakyat. Akumulasi kapital tidak boleh hanya menguntungkan segelintir orang.

Berbicara tentang kemiskinan, Anwar mengingatkan kita untuk tidak melihatnya dari hanya sisi statistik. Kemiskinan itu seharusnya dimaknai sebagai ancaman kemanusiaan, sekecil apapun keberadaannya.

Pemberantasan kemiskinan harus dimulai dengan peningkatan kualitas pendidikan. Pendidikan yang dimaksud jangan terjebak pada barbarian specialization, di mana spesialisasi dicapai melalui pengorbanan sisi humanity dan moralitas. Harus ada keseimbangan di antara keduanya.

Penutup

Anwar Ibrahim telah memberi pencerahan luar biasa pada tokoh-tokoh Indonesia yang hadir. Ketika seluruh dunia dihantui oleh kegelisahan dan kegamangan dalam menghadapi ketidakpastian global, Anwar menyebarkan sikap optimisme yang berbasis pada nilai-nilai agama dan tanggung jawab kemanusiaan.

Seorang pemimpin harus bekerja untuk memaksimalkan seluruh potensi yang ada untuk kesejahteraan rakyat. Keadilan sosial harus menjadi kata kuncinya. Menjadi pemimpin harus dicapai melalui cara-cara yang beradab. Setelah menjadi pemimpin harus pula menepati janjinya, merujuk pada democratic accountability Fukuyama.

Bagi Indonesia yang akan memilih pemimpin (presiden dan legislatif) dalam waktu yang tidak lama lagi, sewajarnya dapat menjadikan pikiran-pikiran Anwar Ibrahim ini sebagai bahan renungan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button