Israel Hancurkan Infrastruktur Telekomunikasi, Lebanon Terancam Terputus dari Dunia Luar


Pemerintah Lebanon memperingatkan bahwa negaranya berada di ambang pemadaman internet, karena serangan brutal Israel menghancurkan infrastruktur telekomunikasi penting dan menyebabkan ratusan menara transmisi tidak berfungsi.

Peringatan itu muncul dari Menteri Telekomunikasi Sementara Lebanon Johnny Corm. Saat ini serangan udara di Lebanon selatan, pinggiran selatan Beirut, dan wilayah Beqaa timur meningkat setelah Israel melancarkan invasi sejak Oktober.

Untuk mengatasi hal ini, Corm mengatakan pemerintah sedang berunding dengan dua perusahaan Eropa untuk membangun sistem internet alternatif berbasis satelit. Ia mengatakan tidak sabar menunggu hasil perundingan dengan SpaceX milik Elon Musk dan layanan Starlink-nya selesai.

Negosiasi tentang peluncuran layanan Starlink – yang mengandalkan satelit daripada infrastruktur jaringan terestrial – bergantung pada dua kendala utama, yang pertama berkaitan dengan keamanan dan yang kedua faktor komersial. “Negosiasi telah berkembang, awalnya berfokus pada harga dan diskon yang dinegosiasikan sebelumnya, serta aspek teknis tertentu,” katanya kepada L’Orient-Le Jour, Senin (11/11/2024).

“Perusahaan tersebut mengklaim tidak dapat memberikan data kepada kami dan bersikeras agar kami memasang server di Qatar atau Jerman,” tambahnya, seraya menyoroti bahwa persyaratan seperti itu akan melanggar undang-undang yang mengatur perlindungan data pribadi.

Komentar Corm muncul beberapa hari setelah ia mengatakan kepada LBCI TV tentang ancaman sangat serius terhadap layanan internet di Lebanon. “Ada bahaya bagi internet karena wilayah udara Lebanon terbuka dan jet-jet tempur Israel berkeliaran di langit kita sesuka hati mereka yang mengancam keamanan siber kami,” kata Corm.

Sektor telekomunikasi Lebanon sudah terpuruk akibat krisis keuangan nasional selama lima tahun yang berdampak besar pada pemeliharaan dan perluasan infrastruktur. Ada 4,7 juta pengguna internet di Lebanon pada awal 2023, di negara yang jumlah penduduknya sekitar lima juta – tidak termasuk populasi pengungsi Suriah yang besar.

Corm mengatakan kepada LBCI bahwa 175 stasiun transmisi milik operator Touch kini tidak beroperasi, dengan sembilan stasiun hancur total dan 11 rusak sebagian. Sebanyak 161 stasiun transmisi lainnya, milik operator Alfa, tidak beroperasi. Semuanya terletak di selatan Beirut, Lebanon selatan, dan Beqaa – wilayah yang menjadi sasaran utama serangan Israel ke negara itu. Kementerian telekomunikasi memperkirakan kerugian sekitar US$67 juta.

Ketidakmampuan adalah Penyebabnya

Mohamad Najem, Direktur Eksekutif SMEX, sebuah organisasi nirlaba berpusat di Beirut yang memperjuangkan hak-hak digital di seluruh kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, menyalahkan Corm atas situasi buruk yang kini dihadapi sektor telekomunikasi negara tersebut. Ia mengatakan bahwa menteri seharusnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk memperbaiki masalah daripada menyebarkan ketakutan secara langsung di televisi.

“Sejak perang dimulai pada Oktober tahun lalu, menteri telah memberi tahu kami bahwa akan ada rencana A dan B, dan setahun kemudian, kami menemukan tidak ada rencana darurat sama sekali,” kata Najem.

Ia mempertanyakan sejumlah stasiun transmisi yang menurut Corm telah terganggu akibat serangan Israel dan meragukan alasan mengapa stasiun-stasiun itu tidak berfungsi. Najem mengingatkan, kementerian lain – seperti kesehatan – masih berfungsi meskipun terjadi kekacauan perang.

“Dia mengatakan bahwa lebih dari 300 stasiun, secara total, tidak beroperasi tetapi dia mengatakan hanya sembilan yang hancur – mengapa yang lainnya tidak beroperasi? Apakah ini karena mereka kehabisan bahan bakar? Mengapa mereka kehabisan bahan bakar? Mengapa otoritas terkait tidak berupaya memperbaiki masalah ini?” Najem mengatakan kepada The New Arab (TNA).

“Perlu ada kerja sama dengan pemerintah daerah [di daerah terdampak], seperti pemerintah kota dan militer. Mereka dapat membantu menyediakan bahan bakar.”

Najem mengatakan paling tidak yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah menyediakan internet gratis di tempat penampungan ratusan ribu pengungsi atau setidaknya meningkatkan kapasitas jaringan untuk mengurangi tekanan pada layanan.

Dia mengatakan bahwa Starlink harus beradaptasi dengan peraturan Lebanon sesuai dengan Undang-Undang Telekomunikasi 431 atau pemerintah harus mengubah undang-undang ini untuk memungkinkan layanan telekomunikasi Musk diluncurkan di seluruh negeri.

Imad Kreidieh, ketua operator milik negara Ogero, mengatakan skenario penutupan layanan internet di Lebanon adalah tidak realistis. Selama ini stasiun transmisi di sebagian besar wilayah negara tersebut beroperasi seperti biasa, tetapi ini tidak berarti sektor tersebut tidak menghadapi serangkaian krisis lainnya.

“Ada beberapa daerah yang komunikasi dan internetnya terputus total, stasiun-stasiun hancur, dan tidak ada lagi warga sipil [di daerah yang dievakuasi] yang dapat menggunakan layanan ini. Ini adalah sesuatu yang perlu kita pikirkan setelah perang,” kata Kriedieh kepada Almodon.

Ia juga tidak mengesampingkan kemungkinan jika terjadi skenario bencana akan sulit menyediakan layanan internet bagi seluruh warga Lebanon. Mereka yang mampu secara finansial dapat mengakses internet, tetapi mereka yang tinggal di tempat penampungan kemungkinan besar tidak dapat mengakses internet.