Serangan Israel di Jalur Gaza menewaskan sedikitnya 23 warga Palestina pada Selasa (25/3/2025). Militer Israel memperluas perintah evakuasi kepada puluhan ribu penduduk di seluruh daerah kantong itu.
Menurut kementerian kesehatan Gaza, pelanggaran gencatan senjata oleh Israel minggu lalu telah menyebabkan hampir 700 warga Palestina – kebanyakan wanita dan anak-anak – tewas dalam beberapa hari. Perintah perpindahan baru ini berdampak pada seluruh kota perbatasan utara di Gaza, termasuk Jabalia, Beit Lahiya, Beit Hanoun, dan Shejaia di Kota Gaza, serta Rafah dan Khan Younis di selatan.
Tentara Israel telah memberitahu penduduk bahwa mereka harus meninggalkan rumah dan menuju selatan demi “keselamatan” mereka. Namun pejabat PBB dan Palestina mengatakan tidak ada daerah aman di Gaza.
Di antara populasi Gaza yang berjumlah sekitar 2,3 juta orang mayoritas telah mengungsi beberapa kali selama perang. Perintah terbaru tersebut telah menimbulkan kekhawatiran bahwa Israel akan berusaha mengusir mereka secara permanen dari rumah.
Banyak pejabat Israel mengancam akan menduduki dan menempati Gaza sejak awal perang. Ancaman itu tampaknya telah disahkan oleh rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengusir penduduk Palestina di wilayah tersebut.
Pada Jumat (21/3/2025), Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz memerintahkan panglima militer untuk mengambil alih lebih banyak wilayah di Gaza dan mengungsikan penduduk untuk menciptakan ‘zona aman’. Mereka juga mengisyaratkan bahwa penolakan Hamas untuk membebaskan tawanan Israel yang tersisa akan ditanggapi dengan aneksasi lebih lanjut atas tanah Palestina.
Penduduk Gaza, Abu Mohammed Darbieh, mengatakan kepada situs berbahasa Arab milik The New Arab (TNA) bahwa meskipun pengepungan dan pengeboman Israel mengerikan, ancaman pengusiran adalah salah satu kekhawatiran terbesarnya.
Fatima al-Khudari, warga Gaza lainnya, juga berbicara tentang kekhawatiran akan terjadinya gelombang pengungsian lainnya. “Hidup kami di Gaza tidak memiliki hak asasi manusia dan persyaratan paling mendasar, tetapi pembicaraan tentang pengungsian merupakan mimpi buruk yang nyata bagi kami… Saya tidak pernah berpikir untuk meninggalkan negara saya dan beremigrasi,” katanya kepada Al-Araby Al-Jadeed .
PBB Kurangi Kehadiran Internasional di Gaza
Kemarin, juru bicara PBB Stephan Dujarric mengatakan bahwa badan dunia itu akan mengurangi jumlah tim internasionalnya di Gaza, menyusul dimulainya kembali serangan skala besar oleh Israel. Dujarric, yang menggambarkan pemindahan tersebut sebagai “sementara”, mengatakan sekitar 30 dari 100 staf internasional akan meninggalkan Gaza minggu ini.
Pejabat PBB mengakui bahwa “keputusan sulit” itu muncul di tengah meningkatnya “kekhawatiran atas perlindungan warga sipil”. Dujarric juga mengonfirmasi bahwa Israel berada di balik serangan mematikan terhadap kompleks PBB pada 19 Maret di Deir Al-Balah.
Serangan tank tersebut menewaskan seorang staf PBB dari Bulgaria dan melukai enam orang lainnya. Tentara Israel telah berulang kali membantah bertanggung jawab atas serangan di situs yang ditandai PBB tersebut.
Sementara itu keluarga tawanan Israel Elkana Bohbot mendesak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump mempertimbangkan kembali strategi mereka saat ini untuk memulai kembali perang. Permohonan dari keluarga itu muncul setelah Hamas merilis video tanpa tanggal yang memperlihatkan Bohbot dan Yosef-Chaim Ohana saat ditawan.
“Bayangkan saja ini adalah anak Anda, ayah dari cucu Anda, yang sedang menunggu hari terang, mendengar bom IDF (Pasukan Pertahanan Israel), dan terus-menerus hidup dalam ketakutan akan keselamatannya,” kata keluarga Bohbot dalam sebuah pernyataan.