Kanal

Isu Kudeta Presiden Xi Jinping Jelang Kongres Partai Komunis China

Kondisi politik China di pemerintahan Presiden Xi Jinping dikabarkan sedang memanas. Partai Komunis yang berkuasa akan memulai Kongres Partai ke-20 pada 16 Oktober mendatang.

Dalam pertemuan sangat penting itu, Xi Jinping akan berada di dalam kondisi dua pilihan. Dilantik kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ketiga kalinya atau bakal terjungkal.

Kongres itu akan dihadiri sekitar 2.300 delegasi Partai Komunis dari seluruh negeri di Beijing. Dalam perhelatan tersebut juga akan memilih anggota Komite Sentral partai yang berjumlah sekitar 200 anggota.

Mulai 9 Oktober mendatang, pertemuan Komite Sentral akan mulai berlangsung di Beijing. Komite Sentral kemudian akan memilih 25 orang Politbiro dan Komite Tetapnya yang sangat kuat, merupakan badan kepemimpinan tertinggi dan puncak kekuasaan China, yang saat ini terdiri dari 7 orang.

Pemungutan suara sebagian besar merupakan formalitas, di mana urutan kekuasaan Politbiro dan Komite Tetapnya kemungkinan telah diputuskan jauh sebelumnya.

Media pemerintah CCTV mewartakan, kongres itu digelar saat Xi menghadapi tantangan politik yang signifikan, termasuk ekonomi yang sedang sakit, hubungan yang memburuk dengan AS dan kebijakan ketat nol-COVID.

Xi juga menghadapi kritik keras hak asasi manusia (HAM) dari komunitas internasional atas kebijakan represif di wilayah barat laut Xinjiang, di mana sekitar satu juta Muslim Uyghur ditahan dan mendapatkan tindakan keras yang seolah-olah menargetkan terorisme.

Sementara masa jabatannya selama satu dekade telah melihat tindakan keras terhadap korupsi di dalam partai, yang menurut para analis berfungsi untuk menjatuhkan saingan politiknya, serta penghancuran gerakan demokrasi di Hong Kong dan penguncian ketat berbagai kota atas nama pembatasan virus corona.

Namun, sebagian para analis memperkirakan bahwa pada kongres pada Oktober mendatang, Xi akan berusaha untuk mempersingkat nama filosofi politik resminya dalam konstitusi partai menjadi ‘Pemikiran Xi Jinping’, yang membuatnya setara dengan Mao Zedong, Bapak Pendiri Negara China.

“Walau menghadapi tantangan politik yang siginifikan, Presiden Xi kemungkinan akan diperpanjang ke periode ketiga yang menjadi pemimpin paling kuat di Negeri Tirai Bambu dalam beberapa dekade terakhir. Kongres, yang diadakan setiap lima tahun, akan menjadi konferensi yang sangat penting,” demikian dilaporkan CCTV pada Sabtu (24/9/2022).

Pengamat: Presiden Xi Berpotensi Akan Dicopot

Sementara, seorang pengamat China, Roger Garside, percaya Xi Jinping berpotensi dicopot dari jabatannya dalam skenario ‘kudeta’ yang dilakukan oleh komplotan pro-demokrasi.

Selama ini, Xi selalu dinilai sebagai sosok kuat dan dilihat secara luas sebagai pemimpin yang paling berkuasa di China sejak kepemimpinan Ketua Mao. Namun, mantan diplomat Roger Garside memprediksi, isu kudeta yang akan dilakukan oleh saingannya di Partai Komunis China, berpotensi melengserkan Xi dari kursinya.

“Kediktatoran totaliter ini secara lahiriah kuat tetapi lemah di dalam,” ujar Garside, dikutip dari DW News. “Hal itu perlu dilakukan untuk membantu oposisi internal rezim totaliter Xi Jinping.”

Ia menyinggung soal ancaman utama bagi Presiden Xi Jinping adalah orang yang berada dalam jajaran teratas Partai Komunis.

Garside yakin momen China membebaskan diri akan terjadi. “Tapi dengan kekuatan eksternal yang bekerja juga. AS dan sekutunya harus mengadopsi strategi yang lebih agresif terhadap China,” kata dia.

Untuk pertama kalinya baru-baru ini, Xi Jinping mendapatkan protes keras dari orangtua siswa. Para orangtua menilai buku pelajaran sekolah yang menyingung soal propaganda pro-pemerintahan seperti gaya Korea Utara.

Propaganda yang dilakukan Presiden Xi dinilai mulai seperti diktaktor China Mao Zedong dan sangat mengganggu: “Kami tidak ingin anak saya yang berusia 10 tahun menjadi sasaran omong kosong semacam ini”.

China Hukum Berat Eks Menteri Kehakiman karena Korupsi Rp247,3 Miliar

Situasi politik semakin memanas, ketika pengadilan China menjatuhkan hukuman mati dengan penangguhan penahanan selama dua tahun terhadap seorang mantan menteri kehakiman karena diduga korupsi lebih dari 117 juta yuan (Rp247,3 miliar lebih)

Di mana Fu Zhenghua (67) dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Rakyat Menengah Changchun di Provinsi Jilin, China timur laut. Namun, menurut putusan pengadilan, hukuman mati terhadap Fu dapat diringankan menjadi penjara seumur hidup setelah menjalani penangguhan penahanan dua tahun penjara.

Diketahui, Fu menjabat sebagai menteri kehakiman antara Maret 2018 hingga April 2020. Dia dituduh mengambil keuntungan dari posisinya antara tahun 2005 hingga 2021, termasuk menerima suap senilai lebih dari 117 juta yuan dan melanggar hukum untuk keuntungan pribadi.

Pengadilan mencabut hak politik Fu seumur hidup dan menyita semua harta pribadinya. “Setelah penangguhan hukuman mati selama dua tahun, hukuman Fu dapat diubah menjadi penjara seumur hidup sesuai dengan hukum, tetapi tidak ada pengurangan lebih lanjut atau pembebasan bersyarat yang akan diberikan kepadanya,” bunyi putusan pengadilan hari Kamis (22/9/2022), seperti dilansir CGTN, Jumat (23/9/2022).

Fu Zhenghua pernah memegang banyak posisi seperti kepala Biro Keamanan Publik Kota Beijing, wakil menteri keamanan publik, menteri kehakiman, dan Wakil kepala Komite Nasional dari Komite Nasional Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China untuk Urusan Sosial dan Hukum (CPPCC).

Menurut pengadilan, Fu telah menyembunyikan bukti yang melibatkan dugaan kejahatan serius yang dilakukan oleh saudaranya; Fu Weihua, saat menjabat sebagai kepala biro keamanan publik Beijing antara tahun 2014 hingga 2015.

Mantan Wakil Menteri Keamanan China Dipenjara Seumur Hidup karena Suap

Selain Fu Zhenghua, mantan pejabat tinggi keamanan China juga menghadapi hukuman penjara seumur hidup atas kasus penyuapan dan kejahatan lainnya. Menurut Pengadilan Rakyat Menengah di Kota Changchun, pengadilan telah menjatuhkan hukuman mati yang ditangguhkan kepada Sun Lijun.

Namun, dilansir dari Reuters, menurut laporan kantor berita negara China, Xinhua, hukuman mati tersebut akan diubah menjadi penjara seumur hidup setelah dua tahun, tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.

Pengadilan mengatakan Sun Lijun yang sebelumnya menjabat sebagai Mantan Wakil Menteri Keamanan Publik China telah menyalahgunakan kekuasaannya di sejumlah posisi berpengaruh antara 2001 dan 2020.

Pria berusia 53 tahun itu mengaku bersalah pada Juli lalu karena menerima suap lebih dari 646 juta yuan (sekitar US$91 juta). “(Sun) dirampas hak politiknya seumur hidup dan semua properti pribadi harus disita,” kata pengadilan dalam putusannya pada Jumat, laporan Reuters.

Dalam pernyataannya, pengadilan China menyebut pelanggaran lainnya yang dilakukan Sun termasuk memanipulasi pasar sekuritas dan memiliki senjata api secara ilegal.

Diketahui bahwa dalam satu dekade sejak Presiden Xi Jinping naik ke tampuk kekuasaan, dia telah mengobarkan kampanye melawan korupsi di Partai Komunis yang berkuasa.

Otoritas China telah mengumumkan serentetan hukuman terhadap tokoh-tokoh tingkat tinggi dalam bulan ini, seiring kampanye anti-korupsi yang meluas menjelang Kongres Partai Komunis ke-20 pada 16 Oktober mendatang.

Jawaban atas kampanye anti-korupsi yang meluas ini diperkirakan untuk mengamankan masa jabatan ketiga Presiden Xi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Beberapa tokoh pejabat lain yang mendapatkan hukuman penjara belum lama ini termasuk kepala polisi provinsi Shanghai, Chongqing, dan Shanxi.

Sebelumnya, pada Kongres Partai terakhir pada tahun 2017 lalu, Xi Jinpin berjanji akan terus menargetkan ‘harimau’ dan ‘lalat’, yang merujuk pada pejabat elit dan birokrat dalam perjuangannya melawan korupsi.

Hubungan China-AS Semakin Memburuk

Selain tekanan politik dari dalam pemerintahan, Anggota Dewan Negara sekaligus Menteri Luar Negeri China Wang Yi pada Jumat (23/9/2022) mengatakan kepada Menlu AS Antony Blinken bahwa hubungan China-AS saat ini dalam kondisi rusak parah, dan AS harus mengambil pelajaran dari kondisi itu.

Wang menyampaikan pernyataan tersebut dalam pembicaraan mereka di lokasi Misi Tetap Republik Rakyat China untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kedua diplomat itu turut menghadiri Sidang Majelis Umum PBB ke-77 yang sedang berlangsung.

Wang mengatakan bahwa hubungan China-AS berada di titik kritis, dan sangat penting bagi kedua belah pihak, dengan sikap bertanggung jawab terhadap dunia, sejarah, dan masyarakat di kedua negara, untuk mengadopsi pendekatan yang tepat demi mewujudkan kerukunan antara dua negara besar, serta berupaya untuk menghentikan kemerosotan lebih lanjut pada hubungan bilateral dan menstabilkannya kembali.

Wang secara spesifik berfokus pada pelanggaran-pelanggaran terbaru yang dilakukan pihak AS terkait masalah Taiwan, secara komprehensif menguraikan posisi resmi pihak China.

“Masalah Taiwan merupakan inti dari kepentingan inti China, dan hal itu memiliki bobot yang signifikan di dalam benak rakyat China,” demikian Wang menekankan. “Misi kami adalah untuk menjaga kedaulatan nasional dan integritas teritorial, dan sama sekali tidak ada ambiguitas tentang hal itu,” ujar Wang kepada Blinken.

Wang mengingatkan Blinken bahwa AS telah membuat komitmen politik yang jelas kepada China mengenai masalah Taiwan, termasuk tiga komunike bersama China-AS yang dicapai beberapa dekade lalu dan pernyataan yang berulang kali disampaikan oleh pemerintah AS saat ini bahwa pihaknya tidak mendukung ‘kemerdekaan Taiwan’.

“Namun, apa yang telah dilakukan AS bertentangan dengan komitmennya, dalam berbagai upaya untuk merusak kedaulatan nasional dan integritas teritorial China, menghalangi tujuan besar reunifikasi damai China, dan terlibat dalam apa yang disebut sebagai strategi “menggunakan Taiwan untuk mengekang China,” ujar Wang.

Dia juga menambahkan bahwa pihak AS bahkan secara terbuka mengklaim akan membantu melindungi Taiwan, yang telah mengirimkan sinyal yang sangat berbahaya dan salah.

AS harus kembali mematuhi tiga komunike China-AS dan prinsip ‘Satu China’ sebagaimana adanya, menegaskan kembali kebijakan Satu China-nya tanpa elemen tambahan, dan dengan tegas menyatakan penolakan jelas terhadap segala bentuk aktivitas separatis ‘kemerdekaan Taiwan’, sebut Wang.

Masalah Taiwan merupakan urusan internal China, kata Wang, dan AS sama sekali tidak berhak ikut campur dalam proses penyelesaian masalah Taiwan.

Sikap China terkait penyelesaian masalah Taiwan selalu konsisten dan tidak ambigu, yaitu bahwa China akan terus berpegang pada prinsip-prinsip dasar ‘reunifikasi damai dan satu negara, dua sistem’. Wang menekankan bahwa sangat tidak mungkin bagi resolusi damai untuk berjalan beriringan dengan ‘kemerdekaan Taiwan’.

Semakin aktivitas ‘kemerdekaan Taiwan’ merajalela, semakin kecil kemungkinan untuk menyelesaikan masalah Taiwan secara damai, kata Wang, seraya menambahkan bahwa perdamaian lintas Selat hanya dapat benar-benar dipertahankan dengan secara tegas menentang dan menghalangi aktivitas ‘kemerdekaan Taiwan’.

“China dan AS memiliki kepentingan yang sama dan perbedaan mendasar secara bersamaan, sebuah kenyataan yang tidak akan berubah,” ujar Wang di sela-sela Sidang Umum PBB di New York, yang dilaporkan Reuters, Sabtu (24/9/2022).

Wang menyatakan harapan bahwa pihak AS akan memperbaiki persepsinya tentang China, serta memikirkan kembali dan mengubah kebijakan China-nya yang diarahkan oleh pengekangan dan penindasan. “Washington harus mengurungkan niatnya untuk berurusan dengan China dari posisi yang lebih kuat, serta tidak perlu selalu mencari cara untuk mengekang perkembangan China atau terus mengandalkan intimidasi sepihak,”ujarnya.

“AS harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk memulai kembali pertukaran normal antara kedua belah pihak, dan mendukung kembalinya hubungan China-AS ke jalur pengembangan yang sehat dan stabil,” lanjutnya.

Blinken mengatakan bahwa hubungan AS-China berada dalam situasi yang sulit. Namun, Blinken mengatakan bahwa pihak AS bersedia untuk terlibat dalam komunikasi dan dialog yang jujur dengan China, menghindari kesalahpahaman dan salah perhitungan, serta menemukan jalan untuk ke depannya.

Blinken juga menegaskan kembali bahwa pihak AS tidak berniat untuk memicu ‘Perang Dingin baru’, tidak mengubah kebijakan Satu China-nya, dan tidak mendukung ‘kemerdekaan Taiwan’.

Wang dan Blinken sama-sama memandang terkait situasi Ukraina. Kedua belah pihak menganggap pertemuan itu bersifat jujur, konstruktif, serta penting, dan mereka sepakat untuk menjaga komunikasi, demikian laporan Xinhua.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button