News

Isu Politik Identitas Dinilai tak Relevan di Pilpres 2024

Kamis, 16 Jun 2022 – 13:01 WIB

Ridlwan Habib 1 - inilah.com

Pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib. Foto: Antara/HO-Humas BNPT

Isu terkait politik identitas dinilai tak sudah tak relevan untuk digunakan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Sebab, masyarakat di Indonesia kian cerdas seiring membaiknya literasi terkait hoaks atau berita bohong.

“Mungkin di (Pilpres) 2014, 2019 berita hoaks masih bisa dan banyak beredar di WA grup. Tapi di (Pilpres) 2024 saya tidak yakin,” ujar pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib dalam keterangannya dikutip Kamis, (16/6/2022).

Dia menjelaskan, hal itu tak terlepas dari faktor banyaknya generasi Z atau milenial yang saat ini sudah “melek” digital dan unggul dalam literasi. Generasi ini sudah memahami mana berita palsu, hoaks dan bohong.

Sehingga, tegas Ridlwan, narasi politik identitas yang negatif sepatutnya ditinggalkan,

Ridwan melanjutkan, politik identitas boleh saja. Ia mencontohkan, kampanye dengan menggunakan jargon agama.

“Yang tidak boleh adalah jika menggunakan politik identitas untuk menyalahkan pihak lain di luar kelompoknya, bahkan mengampanyekan khilafah,” ujar Ridlwan.

Ia menyebut, penggunaan politik identitas yang tidak tepat dapat menciderai kerukunan, persatuan, kemajemukan, tenggang rasa bangsa.

“Indonesia menganut kebebasan demokrasi, tiap orang boleh berekspresi, itu wajib dijaga. Akan tetapi kebebasan berekspresi itu tidak boleh melanggar kebebasan orang lain, nah termasuk dalam hal berpolitik itu tadi,” tutur Ridlwan.

Ridlwan mengharapkan para aktor politik dan para pendukungnya mampu mengubah cara kompetisinya dengan mengesampingkan politik identitas negatif. Mulai mengedepankan kualitas program, prestasi dan visi-misinya untuk kemajuan Indonesia.

“Kalau mau makin baik, maka bicara tentang program, tentang prestasi, jangan melulu tentang isu agama. Kalau tetap seperti itu maka 2024 akan terjadi politik identitas lagi. Ayo kita kembali bermain fair saja, tinggalkan narasi politik identitas negatif kepada program dan prestasi,” katanya.

Bahaya Sentimen Agama

Ridlwan turut mengingatkan, kondisi iklim demokrasi yang dirusak dengan pertarungan sentimen agama justru berbahaya. Pasalnya, akan semakin melanggengkan jalan bagi kelompok radikal mewujudkan visi misi mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi atau sistem yang mereka percaya.

“Kalau negara ini chaos, maka mereka akan bilang ‘inilah bukti bahwa Pancasila gagal dan tidak relevan lagi bagi bangsa Indonesia, negara ini gagal, maka ganti lah Pancasila ke sistem khilafah, karena terbukti bangsa ini pecah, maka ayo ganti ke sistem agama. Tentunya hal itu yang menjadi tujuan mereka,” ujar Ridlwan.

Tidak hanya itu, dia menyebut, kondisi adu domba dan polarisasi yang semakin parah di tengah masyarakat Indonesia yang beragam, juga menjadi kekhawatiran tersendiri. Hal ini terkait potensi bangkitnya gerakan-gerakan teror menjelang tahun politik 2024.

“Tindak terorisme sekarang ini sebenarnya sudah dalam tahap minimal. Karena kelompok ini di Timur Tengah sudah tidak punya basis dan wilayah serta tidak ada perintah serta fatwa untuk membuat teror. Tapi justru kelompok ini paham bahwa kalau mereka membuat teror, maka masyarakat akan antipati. Sehingga mereka mengubah strategi menjadi strategi soft,” ujar Ridlwan.

Strategi soft yakni dengan cara konvoi, membagikan selebaran, membuat acara menarik yang tidak menakutkan. Namun,  tetap dengan tujuan yang sebenarnya, yaitu untuk mengganti ideologi bangsa.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button