News

Jabatan Presiden Bukan Warisan, Kandidat Capres Harus Rebut Hati Rakyat

Posisi Presiden Jokowi yang dipersepsikan sebagai king maker sehingga banyak kandidat atau figur yang mau maju nyapres seolah berupaya mendapat restu dari Kepala Negara dianggap tak tepat. Pasalnya jabatan presiden bukan warisan, tetapi harus direbut melalui pemilu. Artinya kandidat capres harus merebut hati rakyat, bukan Jokowi.

Peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Wasisto Raharjo Jati menilai keliru apabila pihak yang mau nyapres seolah digiring untuk mendapatkan restu Presiden Jokowi untuk maju pada Pilpres 2024. Sebab tingkat keterpilihan dalam pemilu ditentukan dari suara rakyat bukan dari dukungan pihak tertentu.

“Kalaupun menjadi seorang king maker juga masih perdebatan, karena Presiden Jokowi bukan seorang ketum parpol yang bisa menyediakan tiket nominasi,” kata Wasisto, kepada Inilah.com, di Jakarta, Senin (14/11/2022).

Dia menilai, upaya mengaitkan Jokowi dengan kepentingan kontestasi juga tidak tepat. Alasannya, Presiden Jokowi harus bersikap negarawan dan bebas dari urusan pilpres selain menjamin pelaksanaan pesta demokrasi pada 2024 berjalan tertib, aman, lancar, dan sesuai dengan asas demokrasi.

Menurut Wasisto, apabila Jokowi diseret untuk ikut menentukan kandidat capres sama saja mendorong yang bersangkutan jauh dari sikap negarawan. Dia juga meminta para pihak tidak menempatkan Jokowi sebagai king maker, sebaliknya mendorongnya selaku kepala pemerintahan memastikan target-target pemerintah tercapai hingga lengser keprabon pada 2024 mendatang.

“Seorang negarawan berarti figur tersebut hanya fokus memikirkan solusi atas masalah negara dan bangsa ke depan,” kata dia.

Wasisto juga menyikapi hasil jajak pendapat yang dirilis Litbang Kompas yang menyebutkan sebanyak 15,1 persen warga memilih capres yang didukung Presiden Jokowi. Penelitian yang dilakukan pada 24 September-7 Oktober 2022 turut menyebut sebanyak 35,7 persen responden tidak menjawab ketika ditanyakan apakah bakal memilih calon yang didukung eks Gubernur DKI itu, sedangkan sebanyak 30,1 persen menjawab tidak akan memilih.

Menurut Wasisto, publik sebaiknya dijauhkan dari upaya yang disengaja atau tidak menciptakan fanatisme dan favoritisme praktik politik yang ditunjukkan Presiden Jokowi karena bertolak belakang dengan konsepsi demokrasi. “Saya pikir pandangan tersebut menunjukkan tendensi bahwa publik menghindari adanya favoritisme politik yang mana itu bertentangan dengan demokrasi,” tuturnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button