Market

Jadi Korban Penipuan, Ratusan Mahasiswa IPB Kini Diteror Penagih Pinjol

Ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi korban penipuan modus baru dengan iming-iming keuntungan 10 persen dan berutang pinjaman online (pinjol). Kini, mereka terjerat utang dengan total tagihan ditaksir miliaran rupiah. Sebagian dari mereka bahkan diteror oleh penagih utang alias debt collector.

Sebanyak 331 orang terjerat pinjol karena menjadi korban penipuan dengan iming-iming imbal hasil yang besar. Dari jumlah tersebut, 116 di antaranya adalah mahasiswa IPB di Bogor, Jawa Barat.

Humas IPB, Yatri Indah Kusuma Astuti, menyebut, apa yang terjadi pada para mahasiswa itu adalah ‘penipuan untuk investasi’. Mereka diminta berinvestasi dengan dana pinjol dan diiming-imingi bagi hasil 10 persen per bulan dari nilai investasi yang mereka berikan.

Alih-alih mendapat untung, kini mereka malah mendapat buntung. Sebab selain tak menerima keuntungan, mereka juga harus membayar cicilan utang dari pinjol.

“Mahasiswa kan sebetulnya nggak punya uang banyak ya, jadi mereka dibantu untuk mendaftarkan diri ke pinjaman online oleh oknum ini. Kemudian setelah cair dananya, diminta untuk transfer ke rekening si oknum,” jelas Yatri di Bogor, Rabu (16/11/2022).

“Jadi mahasiswa sebetulnya tidak mendapat hasil apa-apa, dengan janji nanti setiap bulan dapat keuntungan 10 persen,” lanjutnya.

Pada satu bulan pertama, kata Yatri, cicilan itu memang dibayarkan. Namun pada bulan-bulan berikutnya, tak dibayarkan. Sejak itulah, debt collector menagih utang kepada para mahasiswa.

Dia mengatakan dalam kasus penipuan itu, masing-masing mahasiswa IPB berutang melalui pinjaman online sekitar Rp2 juta hingga belasan juta rupiah.

Dia memperkirakan jumlah utang 116 mahasiswa yang dilakukan melalui pinjol itu sekitar Rp900 juta.

Hingga saat ini, kasus penipuan ini masih dalam penyelidikan kepolisian Kota Bogor.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bahwa apa yang terjadi pada ratusan mahasiswa itu adalah ‘modus penipuan baru’.

Sementara itu, ekonom INDEF berpendapat banyaknya mahasiswa menjadi korban penipuan, mengindikasikan minimnya literasi keuangan digital.

“Ini akhirnya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Jadi ini pelajaran penting bagi masyarakat kita, jika ingin berinvestasi kenali risikonya dan jangan gunakan uang dari hasil meminjam,” peneliti INDEF Nailul Huda.

Ditagih bayar cicilan tapi tak punya uang

Menurut Yatri, teror para penagih utang membuat mahasiswa mulai khawatir dan was-was, takut ketahuan orang tuanya, takut ketahuan institusi dan takut kena sanksi akademik.

Namun kemudian, ada orang tua mahasiswa yang melapor ke pihak kampus, dan sejak itulah kasus penipuan ini mulai terkuak.

“Ternyata sudah banyak mahasiswa yang melapor ke polisi. Jadi mereka sudah inisiatif melapor ke polisi. Kami baru dapat datanya setelah mereka mau terbuka Semula mereka tidak mau terbuka karena takut sanksi akademik,,” jelas Yatri.

Dia khawatir bahwa penipuan yang terjadi pada para mahasiswa IPB adalah ‘fenomena gunung es’ dan jumlah para mahasiswa yang menjadi korban sebenarnya lebih banyak dari yang tercatat.

“Mungkin masih ada lagi, mungkin juga teman-teman dari kampus lain kena masalah semacam ini,” ujarnya.

Diakui oleh Yatri bahwa banyak mahasiswa mulai resah, sebab sebentar lagi mereka akan memasuki masa ujian. Namun utang yang kini menjerat, membuat mereka ‘galau’.

“Kondisinya sekarang resah, bingung, ditagih supaya membayar cicilan tapi nggak punya uang dan memang tidak memanfaatkan apa-apa, jadi mereka saat ini benar-benar sedang galau,” kata Yatri.

Oleh karena itu, pihak kampus kini sedang memberikan pendampingan, termasuk pendampingan psikologis jika ada di antara para mahasiswa yang mengalami depresi.

Selain itu, rektorat IPB tengah meminta pendapat OJK untuk memediasi agar pinjaman itu dibekukan, supaya bunga pinjaman tidak terus bergulir dan membuat utang kian bengkak.

Selanjutnya, OJK akan membicarakan hal itu dengan perusahaan pinjaman online terkait.

Pelaku bukan alumni IPB

Berbeda dengan pemberitaan media yang menyebut bahwa pelaku penipuan adalah senior para mahasiswa, Yatri memastikan bahwa yang disebutnya sebagai ‘oknum’ itu tidak tercatat sebagai mahasiswa atau alumni IPB.

“Orang dari luar, tapi memang dia pernah datang ke kampus IPB. Mungkin kenal dengan kakak tingkat, kemudian dikenalkan ke adik-adiknya. Tapi yang bersangkutan bukan alumni IPB,” jelasnya.

Lebih jauh, Yatri menjelaskan bahwa ‘oknum’ tersebut memiliki toko daring.

Untuk meningkatkan rating dan menambah investasi, dia menarik uang banyak-banyak dari mahasiswa dan menyebutnya sebagai ‘proyek kerja sama’.

“Kenal dengan satu, dua mahasiswa, dia follow up, dan hebatnya bisa membuat mahasiswa jadi percaya. Dia mampu meyakinkan orang supaya ikut kerja sama dengan dia walaupun sebetulnya nggak ada jaminan,” jelas Yatri.

Kejelasan status pelaku diperkuat oleh klarifikasi Wakapolres Kota Bogor, AKBP Ferdy Irawan.

“Kalau dari data yang ada, berdasar KTP dan keterangan para korban, dia bukan mahasiswa IPB dan pekerjaannya swasta,” kata Ferdy.

Terduga pelaku penipuan, lanjut Ferdy, mengarah pada satu nama dengan modus yang serupa.

Penipuan terhadap ratusan korbannya itu diduga dilakukan sejak Januari hingga Oktober silam. Adapun para korban mengetahui investasi ini dari mulut ke mulut yang memperkenalkan mereka pada pelaku.

Modus penipuan baru?

Lebih lanjut, Ferdy menjelaskan bahwa persoalan utama dalam perkara ini bukanlah tentang pinjol, melainkan adanya penipuan bisnis online.

“Hanya memang modus yang dipergunakan mengarahkan para korban ini untuk meminjam di aplikasi pinjaman online, karena kan memang sebagian besar mahasiswa karena tak punya modal diarahkanlah untuk meminjam online dengan janji bagi hasil 10 persen dan pembayaran pinjaman tersebut nanti akan dibayarkan oleh si terlapor ini,” papar Ferdy.

“Kurang lebih hampir sebagian besar modusnya seperti itu,” imbuhnya.

Senada, Ketua Satgas Waspada Investasi di OJK Tongam Lumban Tobing mengungkap apa yang terjadi dengan mahasiswa IPB, dan sejumlah korban lainnya, bukanlah terkait pinjol secara langsung, melainkan ‘penipuan pembelian barang fiktif’.

“Informasi yang kami peroleh sampai saat ini, bahwa aplikasi yang memberikan pinjaman bukan pinjol tetapi perusahaan pembiayaan (multi finance), jadi bukan peer to peer lending, tetapi pembiayaan pembelian barang dari perusahaan multi finance, yang ternyata barangnya fiktif, tetapi uangnya mengalir ke pelaku,” jelas Tongam.

Lebih jauh, Tongam menjelaskan bahwa dugaan penipuan yang dilakukan pelaku adalah dengan kedok menawarkan kerja sama usaha penjualan di toko online miliknya dengan imbal hasil 10 persen per transaksi.

Pelaku kemudian meminta mahasiswa membeli barang di toko online pelaku. Jika mahasiswa tidak mempunyai uang, maka pelaku meminta mahasiswa meminjam secara online.

“Uang hasil pinjaman tersebut masuk ke pelaku, tapi barang tidak diserahkan ke pembeli, atau pembelian secara fiktif dari toko online pelaku,” ungkapnya.

Pelaku berjanji akan membayar cicilan hutang dari pemberi pinjaman tersebut, sehingga mahasiswa tertarik untuk ikut berinvestasi.

Dalam perkembangannya, pelaku tidak memenuhi janjinya untuk membayar cicilan hutang, sehingga tenaga penagih melakukan penagihan kepada mahasiswa sebagai peminjam.

“Ini memang merupakan modus penipuan baru di mana pelaku ini dan mahasiswa yang ikut di sana sepakat bahwa terjadi seolah-olah pembelian barang, karena pada saat melakukan pembelian barang mereka menyampaikan informasi kepada platform bahwa barang sudah diterima, ternyata dalam faktanya tidak diterima,” jelas Tongam.

“Jadi ada kesepakatan seperti itu yang memang kami katakan ini adalah modus baru di mana para korbannya menyetujui sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, di mana korban-koban ini tidak menerima barang, tetapi di aplikasi disebutkan menerima barang,” lanjutnya.

Semestinya, tegas Tongam, para mahasiswa mewaspadai sejak awal penipuan yang mereka alami sebab, selain pemberian bonus 10 persen yang menurutnya ‘tidak masuk akal’, juga ajakan pelaku agar para mahasiswa menyampaikan informasi yang keliru.

“Ajakan dari pelaku penipuan ini supaya mereka menyampaikan informasi bahwa mereka sudah menerima barang, padahal barang itu tidak diterima, seharusnya diwaspadai sejak awal bahwa ini adalah penipuan,” kata dia.

Literasi keuangan digital minim

Peneliti Institute for Development, Economic and Finance (INDEF), Nailul Huda, memandang banyaknya mahasiswa yang menjadi korban penipuan ini lantaran minimnya literasi keuangan digital.

Para mahasiswa, menurut Nailul, tak menyadari bahwa ‘setiap investasi memiliki risiko’. Jika terjadi suatu hal, katanya, risiko itu bisa berubah menjadi kerugian bagi investor.

“Kalau uang investasi itu didapat dari pinjaman, itu semakin rugi banget, karena mereka tidak mendapat apa-apa tapi harus membayar uang tersebut ke lembaga pinjol beserta bunganya,” jelas Huda.

“Ini akhirnya sudah jatuh, tertimpa tangga pula,” katanya kemudian.

Kasus yang menimpa ratusan mahasiswa IPB ini, menurut Huda, ‘menjadi pelajaran bagi masyarakat’ perlu mengenali risiko investasi dan ‘jangan menggunakan uang dari hasil meminjam’.

Selain risiko investasi, masyarakat juga semestinya memahami kemampuan yang dimiliki untuk membayar.

“Jangan-jangan mahasiswa ini kemampuan bayarnya kurang, tapi mereka tetap pinjam di pinjol dengan iming-iming mendapatkan keuntungan yang relatif besar,” ujar Head of Center Innovation and Digital Economy di INDEF tersebut.

Adapun menurut laporan Status Literasi Digital di Indonesia 2021, indeks literasi digital Indonesia naik tipis dari 3,46 pada 2020 menjadi 3,49 pada 2021 dari skala 1-5.

Artinya, secara umum tingkat literasi digital masyarakat Indonesia berada di level ‘sedang’.

Di sisi lain, secara keseluruhan, kemampuan dan budaya digital Indonesia membaik, sedangkan etika dan keamanan digital melemah.

Ini berarti bahwa orang Indonesia lebih mempertimbangkan perasaan pembaca dari suku/agama/pandangan politik yang berbeda dan mereka lebih baik dalam memeriksa ulang informasi dari internet dibandingkan tahun sebelumnya.

Yatri mengakui bahwa mudahnya para mahasiswa terpikat dengan janji manis investasi ini karena minimnya literasi keuangan. Maka dari itu, untuk selanjutnya, rektorat IPB akan memberikan literasi keuangan bagi mahasiswa baru.

“Kalau khusus untuk yang korban ini, pasti akan dapat bimbingan khusus dan OJK sudah menyampaikan bersedia untuk membimbing mereka, sembari menyelesaikan masalah,” jelas Yatri.

“Rasanya memang saat ini literasi keuangan, terutama yang digital, sangat diperlukan anak-anak muda supaya jangan terlalu mudah menggampangkan pinjam uang, padahal dirinya sebetulnya belum bisa produktif untuk membayar cicilannya,” lanjutnya.

“Ini kelemahan dari anak-anak mahasiswa kami sehingga akhirnya Pak Rektor memprogramkan untuk literasi keuangan. Jadi nanti mahasiswa baru langsung dapat literasi keuangan.”

Pada Selasa (15/10/2022) lalu, pihak Rektorat ITB bertemu dengan seluruh korban untuk berdialog dan mendalami kasus penipuan yang dialami mahasiswanya.

Dia mengatakan pihak rektorat saat ini tengah menyiapkan bantuan hukum untuk mahasiswanya yang ‘tidak berdaya’ menghadapi kasus-kasus semacam ini.

“Karena akhirnya kasus seperti ini kan akan masuk ke ranah hukum.”

Sementara, Tongam menyebut akan melakukan sosialisasi investasi ilegal untuk menghindari korban lain dan menyampaikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk membantu mahasiswa yang jadi korban penipuan itu.

“Masyarakat diminta untuk waspada terhadap penawaran investasi yang tidak legal dan imbal hasilnya tidak logis,” cetusnya. [BBC]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button