Jadwalkan Pemanggilan, DPR Ingatkan Bapanas-Bulog Jangan Manipulatif


Anggota Komisi VI dari Fraksi PKS Rafly Kande menyatakan akan memanggil Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Bulog, terkait polemik adanya dugaan kasus mark up harga impor beras.

“Komisi VI juga akan memanggil Bapanas dan lembaga/badan lainnya yang terkait masalah ini, untuk dimintai keterangan dan klarifikasinya, disertai dengan data-data yang konkret dan asli tanpa dimanipulasi data-datanya,” tegas Rafly kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, dikutip Rabu (10/7/2024).

Kejujuran, tutur dia, perlu dikedepankan oleh Bapanas-Bulog, agar semuanya jadi terang benderang dan publik bisa menilai. “Agar semuanya bisa terlihat, apakah terjadi mark up atau adanya indikasi korupsi dalam kasus ini,” tuturnya.

Sebelumnya, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PKB Luluk Nur Hamidah mengaku sudah mengendus adanya indikasi ‘permainan’ di balik kebijakan impor beras.

Indikasi itu, tutur dia, sudah terlihat sejak mulai dinaikkannya harga eceran tertinggi (HET) beras di pasaran, usai gelaran pilpres, dengan alasan yang selalu berubah-ubah.

“Mulai kenaikan HET sementara sampai dianggap tidak bisa lagi, hingga skema impor yang ugal-ugalan dan berakhir dengan demurrage dengan sejumlah denda yang tidak sedikit,” tutur dia kepada Inilah.com, di Jakarta, dikutip Selasa (9/7/2024).

Ia pun merasa heran dengan sikap Bapanas yang menganggap enteng persoalan demurrage impor beras. Ketika persoalan membesar, tutur dia, Bapanas malah mencoba lepas tangan.

Luluk menegaskan, persoalan ini harus ditanggapi serius. Karenanya ia akan segera mengusulkan agar ada pemanggilan terhadap kedua lembaga tersebut.

“Sekarang Bapanas mencoba lepas tangan, dengan melempar urusan teknis sebagai tanggung jawab Bulog. Keduanya harus dipanggil DPR,” ucap Luluk.

Impor Gerogoti Duit Negara

Dokumen hasil riviu sementara Tim Riviu Kegiatan Pengadaan Beras Luar Negeri pada tanggal 17 Mei 2024 yang ditandatangani Plh Kepala SPI Arrahim K. Kanam menyebut, ada masalah dalam dokumen impor yang tidak proper dan komplet sehingga menyebabkan biaya demurrage atau denda yang terjadi di wilayah pabean/pelabuhan Sumut, DKI Jakarta, Banten dan Jatim.

“Terdapat keterlambatan dan atau kendala dokumen impor yang tidak proper dan complete sehingga menyebabkan container yang telah tiba di wilayah Pabean/Pelabuhan tidak dapat dilakukan clearance,” bunyi dokumen itu, dikutip Senin (8/7/2024).

Dokumen itu juga menyebutkan bahwa kebutuhan clearance di wilayah pabean atau pelabuhan belum dapat dilakukan lantaran dokumen impor belum diterima melebihi waktu yang telah ditentukan.

“Beberapa dokumen impor untuk kebutuhan clearance di wilayah pabean atau pelabuhan belum diterima melebihi tanggal estimate time arrival ETA/actual time arrival dan atau dokumen belum lengkap dan valid ketika kapal sudah sandar,” lanjut bunyi dokumen riviu tersebut.

Dokumen tersebut mengungkap telah terjadi kendala pada sistem Indonesia National Single Windows (INWS) di kegiatan Impor tahap 11 yang dilakukan pada bulan Desember 2023.

“Dokumen yang diterima belum lengkap dan valid sehingga perlu dilakukan perbaikan setelah submit ke aplikasi INWS berupa lembar survey (LS),” bunyi dokumen riviu tersebut.

Dalam dokumen riviu juga disebutkan terjadinya biaya demurrage atau denda karena perubahan Perjanjian Impor (PI) dari yang lama ke baru. Lalu ada juga phytosanitary yang expired dan kedatangan container besar dalam waktu bersamaan sehingga terjadi penumpukan container di pelabuhan.

Akibat tidak proper dan kompletnya dokumen impor serta masalah lainnya, telah menyebabkan biaya demurrage atau denda senilai Rp Rp294,5 miliar. Dengan rincian wilayah Sumut sebesar Rp22 miliar, Rp94 miliar dan Jawa Timur Rp177 miliar.

Sebelumnya, Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) I Gusti Ketut Astawa mengatakan, Bapanas hanya sebagai regulator dalam soal impor beras dengan prinsip profesionalitas, akuntabel, dan kolaboratif. 

“Sebagai regulator yang diamanatkan Perpres 66 tahun 2021, tentunya prinsip profesionalitas, akuntabel, dan kolaboratif senantiasa kami usung,” katanya pada Inilah.com, Jumat (5/7/2024).

Setali tiga uang, Perum Bulog mengklaim telah menjadi korban tuduhan dugaan mark up impor beras dari Vietnam, yang telah dilaporkan salah satu pihak kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Akibat laporan yang berusaha membentuk opini buruk di masyarakat tanpa berbasis fakta maka tentunya hal ini telah membuat Perum Bulog menjadi korban,” kata Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Arwakhudin Widiarso dalam keterangan di Jakarta, Minggu (7/7/2024).

Menurut Widiarso, laporan tersebut yang dinilai tanpa ada fakta, dan merugikan reputasi perusahaan yang telah dibina oleh Perum Bulog. Ia mengaku heran ada pihak yang tak pernah mengikuti proses lelang mendadak mengaku bisa menjual beras dengan harga Rp5.000 per kg, tapi tak pernah berniat menjual dan mengirimkan barang tersebut sehingga membatalkan keikutsertaanya pada lelang terbuka.

“Sangatlah mudah untuk mengklaim telah menawarkan harga murah, bila barangnya tidak nyata dan tidak pernah diserahkan,” kata Widiarso.

Studi Demokrasi Rakyat (SDR) pun telah melaporkan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi dan Dirut Bulog Bayu Krisnamurthi terkait dugaan mark up (selisih harga) impor 2,2 juta ton beras senilai Rp2,7 triliun dan kerugian negara akibat demurrage impor beras senilai Rp294,5 miliar ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Jakarta, Rabu, (3/7/2024).

Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto meminta KPK dapat segera memeriksa Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terkait dua masalah tersebut.

“Kami berharap laporan kami dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk Bapak Ketua KPK RI dalam menangani kasus yang kami laporkan,” kata Hari di depan Gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/7/2024)