Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan komitmen nyata dalam menangani kasus yang melibatkan militer sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian materi Pasal 42 UU KPK.
“Jangan sampai putusan MK ini hanya menjadi putusan yang menang di atas kertas tetapi tidak direalisasikan KPK,” kata Lakso melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Minggu (1/12/2024).
Sebagai mantan penyidik, Lakso menilai KPK sebelumnya kurang optimal dalam mengusut perkara yang melibatkan oknum militer hingga tuntas. Ia mencontohkan kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di Basarnas serta pengadaan helikopter AW-101 di TNI Angkatan Udara pada 2016-2017.
“Selama ini KPK punya kewenangan untuk menyidik korupsi terkait penegak hukum tetapi tidak menangani kasus tersebut secara tuntas,” ucapnya.
Lakso menegaskan, melalui putusan MK tersebut, tidak ada lagi alasan bagi pimpinan lembaga antirasuah untuk menghindari pengusutan kasus dugaan korupsi di sektor militer dengan dalih adanya intervensi.
“Ini tidak menjadikan alasan lagi bagi pimpinan KPK untuk tidak menangani berbagai kasus korupsi, termasuk yang melibatkan unsur militer dalam kerangka koneksitas. Tidak boleh adanya pengecualian penanganan kasus oleh KPK dengan berbagai alasan maupun tekanan,” jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, KPK kini berwenang mengusut kasus korupsi di ranah militer hingga adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkrah), sepanjang kasus tersebut dimulai pertama kali oleh KPK.
Penegasan tersebut merupakan pemaknaan baru MK terhadap Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU 30/2002). MK mengabulkan sebagian perkara uji materi Nomor 87/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang advokat, Gugum Ridho Putra.
“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dalam sidang pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno MK RI, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Pasal 42 UU 30/2002 semula hanya berbunyi, “KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.”
MK memutuskan, pasal tersebut bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sehingga ditambahkan frasa penegasan pada bagian akhir yang berbunyi, “Sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan oleh KPK.”
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menjelaskan bahwa persoalan dalam perkara korupsi yang melibatkan unsur sipil dan militer, atau dikenal juga sebagai korupsi koneksitas, bersumber dari penafsiran yang berbeda-beda di antara penegak hukum terhadap rumusan Pasal 42 UU 30/2002.
Padahal, menurut MK, jika ketentuan pasal tersebut dipahami secara gramatikal, teleologis, dan sistematis, seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum bahwa KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi dari unsur sipil dan militer.
Untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, pihaknya bakal berkomunikasi dengan Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto guna membahas teknis penanganan perkara yang melibatkan unsur militer.
“KPK, dengan adanya putusan MK ini, akan melakukan koordinasi dengan Menhan dan juga Panglima TNI untuk menindaklanjuti secara lebih teknis pengaturan pelaksanaannya,” katanya.
Ghufron menjelaskan, dalam sidang uji materi tersebut, KPK berperan sebagai pihak terkait yang memberikan dukungan serta memaparkan kendala penegakan hukum terhadap kasus korupsi yang melibatkan subjek hukum sipil dan anggota TNI. Contohnya, polemik Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang sempat menjerat dua petinggi TNI aktif sekaligus Kepala Basarnas saat itu, Henri Alfiandi dan Afri Budi Cahyanto.
“Selama ini, walaupun telah ada Pasal 42 UU KPK, dalam pelaksanaannya, jika subjek hukum terdiri dari sipil dan TNI, perkaranya dipisah. Yang sipil ditangani KPK, sementara yang TNI disidangkan di peradilan militer. Kondisi ini berpotensi menimbulkan disparitas, serta membuat proses peradilan menjadi tidak efektif dan efisien,” jelas Ghufron.