Market

Jangan Remehkan Rupiah! ‘Capital Outflow’ Bakal Bergejolak

Ekonom mewanti-wanti agar pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tidak menganggap enteng persoalan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Jika gagal membuatnya stabil, gejolak capital outflow alias arus dana keluar menjadi ancaman serius.

Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia pada Kamis (7/7/2022), nilai tukar rupiah bertengger di Rp14.986 per dolar AS ketimbang posisi hari sebelumnya di Rp15.015.

Jisdor adalah kurs referensi mata uang rupiah terhadap dolar AS yang disusun berdasarkan kurs transaksi valuta asing terhadap rupiah antarbank di pasar domestik. Ini terjadi melalui sistem monitoring transaksi valuta asing terhadap rupiah di Bank Indonesia secara real time.

“Pelemahan rupiah perlu diwaspadai. Tidak bisa dianggap biasa-biasa saja. Sebab, tekanan global terus terjadi, bukan hanya saat sekarang, tapi juga melihat ke depan,” kata Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia kepada Inilah.com di Jakarta, Kamis (7/7/2022).

Kenaikan Suku Bunga The Fed Terus Jadi Ancaman

Yang menjadi tekanan negatif utama terhadap rupiah, lanjut Faisal, adalah kebijakan bank sentral AS, The Fed. “Rencananya, The Fed akan terus melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuannya karena inflasi AS yang susah dikendalikan. Tinggi sekali inflasinya,” ujarnya.

Sejauh ini, The Fed sudah dua kali menaikkan suku bunganya yang cukup besar, yakni 50 basis points (bps) dan 75 bps. “Kenaikan suku bunga The Fed enggak pernah setinggi itu,” ucapnya.

Selama The Fed masih menaikkan suku bunga acuan, rupiah akan terus mengalami tekanan-tekanan negatif. “BI akan mengintervensi rupiah lagi dengan menggunakan cadangan devisa,” tuturnya.

Faisal mengakui, saat ini tingkat suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) memang masih lebih tinggi ketimbang The Fed Fund Rate atau FFR. Akan tetapi, selisihnya semakin menipis seiring kenaikan suku bunga The Fed.

“Sejauh ini suku bunga acuan BI 3,5%. Memang suku bunga negara-negara berkembang untuk menarik capital inflow harus lebih tinggi dari AS,” papar dia.

Secara historis, The Fed mematok suku bunga acuan di level yang sangat rendah. “Sejak naik 50 basis points dan tambah lagi 75 bps, selisihnya dengan BI7DRR jadi agak tipis. Padahal, gap biasanya besar sekali,” timpal dia.

Dulu saat suku bunga acuan The Fed di level 0%, BI7DDR berada di 3,5%. Dengan suku bunga The Fed 1,75%, selisihnya menipis sekarang menjadi 1,75%. “Jika tipis gapnya, potensi capital outflow menjadi lebih besar,” ungkap Faisal.

Apalagi, kata dia, jika The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya sehingga gap antara BI7DRR dengan FFR menjadi lebih tipis. “Gejolak capital outflow akan terjadi lagi. Jika tidak BI perangi, akan semakin memperlemah rupiah,” katanya.

Selain mengguyur pasar dengan dolar AS dari cadangan devisa, BI bisa meredam pelemahan rupiah dengan menaikkan suku bunga BI7DRR. “Ini supaya gap-nya kembali melebar dengan suku bunga Fed,” ungkap Faisal.

Inflasi dan Capital Outflow Tak Berhubungan Langsung

Sementara terkait inflasi AS di level 8,6% yang jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi Indonesia di level 4,37%, menurut Faisal, tigak memiliki hubungan langsung dengan capital outflow. “Capital outflow terjadi karena melihat perbandingan langsung tingkat suku bunga,” timpal dia.

Pasar melihat mana yang lebih menguntungkan suku bunga RI 3,5% atau AS 1,7%. “Ini lebih menguntungkan di Indonesia. Sebab, lebih tinggi bunganya dibandingkan di AS. Meski masih menguntungkan di Indonesia, sekarang selisihnya menipis sehingga capital outflow tetap menjadi ancaman,” tukasnya.

Inflasi yang tinggi di AS akan mendorong kenaikan suku bunga AS. “Jika inflasi terus naik, The Fed cenderung akan terus menaikkan tingkat suku bunganya. Begitu juga di dalam negeri. Kalau inflasi meningkat, ada dorongan untuk menaikkan tingkat suku bunga. Hanya saja, BI sekarang belum melakukannya,” imbuh Faisal.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button