Market

Jangan Seperti Turki, Risiko Besar Orang Parpol Jadi Gubernur BI

Ekonom kritik keras peluang politisi menjadi Gubernur BI, melalui RUU PPSK. Jangan seperti Turki yang ekonominya morat-marit gara-gara politisasi bank sentral.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira kepada Inilah.com, Jakarta, Senin (24/10/2022), menyebut adanya kesalahan fatal dalam draf Rancangan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK). Karena di dalamnya membolehkan jabatan Gubernur Bank Indonesia (BI) berasal dari parpol atau politisi.

“Ini fatal sekali. Marwah dan profesionalitas BI sebagai lembaga penting sektor keuangan bisa turun signifikan. Jangan ulangi kesalahan Turki yang eksekutifnya bisa campur tangan ke bank sentral,” papar Bhima.

Ya, kekhawatiran Bhima boleh jadi masuk akal. Bayangkan saja, penentuan suku bunga acuan bisa disetir kepentingan politik. Bukan berlandaskan kalkulasi fiskal dan moneter terkini. “Bisa amburadul kalau naik turunnya suku bunga dasarnya kepentingan politik,” tuturnya.

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan bisa memecat gubernur bank sentral Turki sesuka hati. Selama kebijakannya tak sejalan dengan keinginan Erdogan, ya wasallam.

Dampaknya luar biasa. Nilai tukar Lira begitu mudahnya anjlok hingga 2 persen dalam hitungan jam. Tak berhenti di situ, inflasi Turki ikutan meroket.

Pada Juli 2022, inflasinya mencapai 79,6 persen, tertinggi dalam 24 tahun terakhir. Artinya, harga barang melonjak yang berefek kepada ambruknya perekonomian Turki.

Ada kebijakan aneh dari bank sentral Turki atau CBRT (Central Bank of The Republic of Turkey). Ketika inflasi mendekati 80 persen, CBRT justru menurunkan suku bunga dari 14 persen menjadi 13 persen.

Benar saja. Ternyata, di balik keputusan fatal dari CBRT tak lepas dari campur tangan Erdogan yang menganggap suku bunga tinggi sebagai “biangnya setan”.

Erdogan lebih yakin bahwa suku bunga tinggi justru memperburuk inflasi. “Apakah Indonesia ingin seperti Turki? tentu saja tidaklah,” ungkap Bhima.

Belum lagi aturan burden sharing BI bisa tak terkendali apabila gubernur BI punya konflik kepentingan dengan eksekutif yang berasal dari partai, atau kelompok yang sama.

Saat pandemi COVID-19, pemerintah dan BI sepakat dengan skema burden sharing. Di mana, BI harus membeli surat berharga negara (SBN) yang dikeluarkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ada kompromi atau tanggung renteng dari BI dan pemerintah.

Dan, duit untuk beli SBN dari pasar primer, gede sekali. Ambil contoh 2021, bank sentral Merah Putih ini, gelontorkan Rp358,32 triliun untuk borong SBN. Tahun 2020 lebih jumbo lagi yakni Rp473,42 triliun. Tahun ini dipatok Rp224 triliun.

“BI bisa menjadi mesin ATM pemerintah untuk tutup defisit APBN. Yang berarti BI harus cetak yang besar-besaran. Semakin berisiko tinggi terhadap stabilitas moneter serta mengikis independensi BI,” pungkasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button