Jauh dari Transparan, JPPR Minta KPU Tak Tutupi Proses Tahapan Pemilu

Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilai masifnya penggunaan sistem elektronik dalam penyelenggaraan pemilu di setiap tahapan pemilu membuat pelaksanaan pemilu jauh dari prinsip keterbukaan. Manajer Pemantauan Sekretariat Nasional (Seknas) JPPR, Aji Pangestu menegaskan hal tersebut juga dikeluhkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyatakan minimnya akses pengawasan dari KPU terhadap sistem yang digunakan.

“Dalam tahapan kampanye misalnya, JPPR telah menyampaikan permohonan informasi akun pelaksana kampanye di media sosial sejak 18 Desember 2023 dan sampai saat ini belum ada jawaban atau tidak direspons oleh KPU RI,” kata Aji dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (30/1/2024).

Atas dasar itu, JPPR mendorong KPU untuk tidak melakukan tindakan yang terkesan partisan dan membuat gaduh publik karena rasa keadilan pemilu berpotensi terancam.

“KPU diharapkan memberikan informasi yang transparan dan responsif terhadap publik mengenai informasi penyelenggaraan pemilu,” kata dia menerangkan.

Sementara itu, Aji juga menilai banyaknya media yang tak seimbang memberitakan informasi mengenai proses penyelenggaraan pemilu.

Berdasarkan hasil pemantauan terhadap media online kurun waktu tanggal 1-6 Januari 2024, pemberitaan mengenai figur calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres)  mempunyai porsi yang lebih besar ketimbang proses pelaksanaan tahapan pemilu dan informasi calon anggota legislatif (caleg) maupun calon anggota DPD.

“Pada sisi lain, ruang pelaksanaan kampanye saat ini diwarnai dengan sandiwara politik dan intrik politik yang sangat jauh dari proses pendidikan pemilih,” tutur Aji.

Hal itu, ujar dia, bisa dilihat dari narasi satu putaran, tim sukses yang saling lapor, intimidasi kampanye salah satu peserta pemilu (penghentian videotron), ancaman kekerasan terhadap peserta pemilu, ribuan konten hoaks, politik uang dengan klaim “sedekah, bakti sosial, bazar tebus murah” yang dalam penanganannya terhambat oleh keterbatasan norma yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu.

“Termasuk juga potret pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan lainnya yang membuat pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024 jauh dari tujuannya yakni untuk memperkuat sistem ketatanegaraan yang ‘demokratis’,” kata Aji.
 

Sumber: Inilah.com