Jejak Bahlil Lahadalia, dari Kisruh Tambang Kini Jadi Menteri ESDM


Presiden Joko Widodo resmi melantik Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (19/8/2024), menggantikan Arifin Tasrif.

Bahlil –yang belakangan digadang-gadang sebagai calon kuat Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar)– sebelumnya merupakan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Bagi Jokowi, Bahlil tampaknya merupakan sosok penting. Pria kelahiran 7 Agustus 1976 itu dipercaya Jokowi untuk memegang jabatan tertentu, seperti Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi (Satgas Tambang), Satgas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, hingga Satgas Percepatan Investasi di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Mengutip situs resmi Kementerian Investasi/BKPM, Bahlil pernah menjadi Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) periode 2015-2019. Ia juga memimpin delegasi perdagangan bagi pengusaha muda ke Jepang pada 2016 dan ke Eropa pada 2018 (HIPMI-Europe Trade Mission 2018).

Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) per 1 April 2024 untuk periode 2023, Bahlil tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp310,42 miliar. Perinciannya, tanah dan bangunan sebesar Rp291,61 miliar, alat transportasi dan mesin sebesar Rp98,4 juta, surat berharga Rp1,61 miliar, serta kas dan setara kas Rp17,09 miliar.

Kisruh Izin Usaha Tambang

Nama Bahlil juga sebelumnya pernah menjadi sorotan, di tengah marak dugaan permainan izin tambang saat dia masih aktif di Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Pada Maret lalu, dia sempat santer disebut-sebut melakukan penyalahgunaan wewenang dalam mencabut dan mereaktivasi izin usaha pertambangan (IUP) serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah.

Bahlil diduga meminta sejumlah imbalan uang hingga miliaran rupiah dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan satgas tersebut. Dia juga dikabarkan meminta porsi saham dari perusahaan-perusahaan yang dicabut dan dipulihkan lagi IUP atau HGU-nya.

Sekadar catatan, pembentukan satgas tersebut mengacu pada Peraturan Presiden No. 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.

Sepanjang 2022, pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM setidaknya telah mencabut 2.078 IUP, yang terdiri dari 1.776 IUP perusahaan tambang mineral dan 302 IUP perusahaan tambang batu bara.

Secara total, luas wilayah lahan yang dicabut izinnya itu mencapai sekitar 3,2 juta hektare yang tersebar di seluruh Indonesia.

Alasan utama pencabutan tersebut dikarenakan para pemegang IUP itu tidak pernah menyampaikan rencana kerjanya, padahal izin sudah bertahun-tahun diberikan.

Jaringan Bisnis Tambang

Terlepas dari rumor tersebut, Bahlil dikabarkan memang sudah lama memiliki bisnis pertambangan nikel melalui PT Meta Mineral Pradana.

Menurut laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), perusahaan tersebut menggenggam dua izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara dengan luas masing-masing 470 hektare dan 165,5 hektare.

“Pemegang saham perusahaan ini, antara lain PT Rifa Capital sebesar 10 persen dan PT Bersama Papua Unggul sebesar 90 persen. Kedua perusahaan ini milik Bahlil,” tulis JATAM dalam laporannya pada Mei lalu.

Selain itu, JATAM menyebutkan bahwa PT Rifa Capital milik Bahlil kerap diberitakan mengeksplorasi 39.000 hektare tambang batu bara di Fakfak, Papua Barat dan 11.000 hektare tambang nikel di Halmahera.

Menurut pantauan data di Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM, nama Bahlil memang benar pernah tercatat di perusahaan tersebut.

Minerba One Data Indonesia (MODI) yang dikelola Ditjen Minerba, mendata PT Meta Mineral Pradana dengan kode perusahaan 5012 yang berkantor di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat. Pemilik/pemegang saham perusahaan tersebut adalah PT Rifa Capital dan PT Bersama Papua Unggul, dengan porsi kepemilikan saham masing-masing 10 dan 90 persen.

Di jajaran kepengurusan, nama Bahlil pernah tercatat sebagai komisaris pada susunan direksi awal perusahaan. Meski demikian, data Ditjen Minerba tidak menjelaskan dengan lengkap periode Bahlil menjabat sebagai komisaris.

post-cover
(Infografis: Dokumentasi JATAM)