Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil tak menampik penangkapan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan politisasi hukum.
Pasalnya, Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilakukan beberapa hari sebelum pencoblosan Pilkada serentak 2024. “Ya politisasi hukum, ya juga mungkin bisa seperti itu,” kata Nasir saat dihubungi wartawan, Jakarta, Selasa (26/11/2024).
Nasir menjelaskan, pelaksanaan OTT membutuhkan waktu, ruang, dan tempat. Dan ketika pelaksanaan OTT tidak memenuhi unsur ketiganya, bukan tidak mungkin target tidak akan tercapai.
“Sehingga ketika tidak memenuhi ketiga tadi itu, ya bisa meleset. Sasarannya, targetnya bisa hilang. Itu OTT,” ucapnya.
Menyoroti kasus OTT Gubernur incumbent Rohidin, Nasir mengungkap KPK akan membantah jika penangkapan tidak berkaitan dengan penyelenggaraan Pilkada. Meskipun publik justru mengatakan demikian.
“Jadi memang kalau kemudian ada orang yang berasumsi ini politisasi hukum, ya bisa saja. Tapi ya KPK tentu mengatakan ya ini bersamaan saja waktunya sehingga memang muncul dugaan itu,” ujarnya.
Diketahui, KPK menetapkan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi di Pemerintah Provinsi Bengkulu. Penetapan itu diputuskan setelah KPK menggelar rapat ekspose perkara terkait operasi tangkap tangan (OTT) di Bengkulu pada Sabtu (23/11).
“KPK telah menemukan adanya bukti permulaan yang cukup untuk menaikan perkara ini ke tahap penyidikan,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers, di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (24/11/2024).
KPK tak menetapkan Rohidin sendirian, namun juga mengenakan status tersangka kepada Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri dan Adc Gubernur Bengkulu Evriansyah.