Jerapah Membawa Kedamaian Masyarakat Kenya yang Dulu Bermusuhan


Di sebuah peternakan luas di Lembah Rift, Kenya, seorang dokter hewan dengan hati-hati membidik sebelum menembakkan anak panah bius. Terlihat sebuah jerapah seperti tenggelam perlahan ke tanah tak terlihat lagi dari kerimbunan semak-semak sebelum kemudian diikat dengan tali dan ditutup matanya.

Ini adalah tahap pertama dari operasi rumit yang dilakukan Dinas Margasatwa Kenya untuk memindahkan sekelompok hewan yang terancam punah ke tempat konservasi sekitar 140 km ke arah timur. Jerapah yang jinak itu dipelihara di peternakan Sergoit bersama tujuh jerapah lainnya selama masa aklimatisasi sekitar 10 hari, sebelum dipindahkan ke rumah baru mereka.

Jerapah Rothschild, subspesies yang berbeda, sedang dipindahkan di Ruko Conservancy di Baringo County sebagai bagian dari inisiatif jangka panjang untuk meredakan ketegangan komunal di sana.

Meskipun negara Afrika Timur ini terkenal dengan satwa liarnya yang spektakuler, daerah utaranya seperti Baringo lebih sering menjadi berita karena bandit dan bentrokan etnis. Komunitas Pokot dan Ilchamus yang bermusuhan di Baringo telah berselisih selama beberapa dekade, perseteruan mereka terkadang meningkat menjadi bentrokan bersenjata.

Pada pertengahan tahun 2000-an, para tetua Pokot dan Ilchamus mengambil tindakan sendiri, dengan meluncurkan inisiatif untuk memindahkan jerapah Rothschild, atau Nubia, ke konservasi Ruko sekitar 280 km di utara ibu kota Nairobi. Tujuannya ada dua, memperkenalkan kembali spesies yang terancam punah ke wilayah yang sebelumnya ditinggalkan, dan memulihkan perdamaian di kedua komunitas.

Para tetua berharap mamalia tertinggi di dunia itu akan menarik wisatawan dan pendapatan, meredakan ketegangan di wilayah terabaikan itu sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan di daerah tempat banyak anak muda – seperti di tempat lain di Kenya – berjuang untuk mencari pekerjaan. Dan, tampaknya itu berhasil.

“Jika melihat 20 tahun ke belakang, Pokot dan Ilchamus pernah mengalami konflik yang meletus karena pencurian ternak dan mengakibatkan hilangnya nyawa, hilangnya ternak, dan mendorong orang-orang pindah dari tanah kelahiran mereka,” kata Rebby Sebei, 34 tahun seorang manager kepada AFP.

“Tempat kami berada ini menjadi medan pertempuran para bandit,” tambahnya. Namun kini, makhluk-makhluk lembut (Jerapah) ini membantu “memastikan terciptanya perdamaian di antara kedua komunitas”.

Jerapah telah mengalami penurunan jumlah yang drastis di Kenya dalam beberapa dekade terakhir, akibat perburuan liar dan gangguan manusia terhadap habitat mereka. Saat jerapah Sergoit – yang diikat dengan aman di belakang truk – berjalan perlahan menuju cagar alam, warga dari komunitas Pokot dan Ilchamus mengadakan perayaan penyambutan.

Enam belas jam setelah keberangkatan mereka dari Sergoit, setelah melewati jembatan berbahaya dan kabel listrik yang menggantung rendah, jerapah-jerapah itu akhirnya tiba di rumah baru mereka. Kelompok itu akan diaklimatisasi di kandang kecil sebelum dilepaskan ke cagar alam Ruko, yang sekarang menjadi rumah bagi hampir 20 jerapah, baik jerapah Rothschild maupun Masai.

Saat orang-orang bernyanyi dan menari dalam perayaan sambil menunggu kedatangan para pendatang baru, Douglas Longomo, seorang petani berusia 27 tahun, mengatakan ia yakin komunitas Pokotnya telah berubah. “Butuh waktu untuk memahami bahwa konservasi itu penting untuk menyatukan masyarakat,” kata Longomo.

Banyak yang tidak melihat pentingnya mengakhiri bentrokan yang telah meninggalkan bekas di wilayah Lembah Rift selama puluhan tahun, tambahnya. “Sekarang kita lihat bahwa kita hidup sebagai satu komunitas, kita bisa bergerak bebas tanpa rasa takut.”

Pandangan Longomo diamini oleh James Parkitore yang berusia 28 tahun dari komunitas Ilchamus. “Saya pikir (konflik) sudah berakhir sekarang karena kita berinteraksi,” katanya.

“Saya berharap jerapah-jerapah itu akan (menciptakan) lapangan kerja yang bagus bagi masyarakat,” kata Parkitore, pandangan yang sama dianut oleh Longomo.

Namun, Sebei menambahkan catatan peringatan, dengan mengatakan bahwa meskipun peningkatan pariwisata telah membantu, masih ada beberapa perselisihan yang tersisa antara kedua kelompok etnis tersebut. Namun, katanya, “ada perdamaian, dan kita perlu membawa lebih banyak jerapah”.