Kanal

Jika Buruk Muka Subsidi, Jangan Cermin Rakyat yang Dibelah

Kebohongan, sejak awal sejarah pun tak pernah diagungkan peradaban. Kebudayaan Romawi Kuno, misalnya, punya pepatah tersendiri soal kebohongan. “Blandae mendacia linguage. Kebohongan, kata mereka, meskipun manis… Latet anguis in herba. Laiknya ular di rerumputan.” Hal itu tetaplah bahaya yang tersembunyi.

Tentu saja apa yang termuat dalam pernyataan Presiden Jokowi tentang subsidi bahan bakar minyak (BBM) –tepatnya subsidi Pertalite– yang mencapai Rp502 triliun, yang dianggap terlalu besar dan membebani anggaran negara, tidak lantas bisa disebut sebagai kebohongan. Sangat beralasan dan masuk akal bila Presiden mengatakan negara mana pun tak akan kuat terus dibebani subsidi sebesar itu. Tetapi melihat kukuh dan yakinnya Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, kepada pendapatnya, mencerminkan memang ada persoalan dengan pernyataan Presiden yang juga dinyatakan Menkeu Sri Mulyani tersebut.

Faktanya, kata Anthony, menurut UU APBN No 6 Tahun 2021 tentang APBN TA 2022, anggaran subsidi untuk tahun anggaran 2022 hanya Rp206,96 triliun. Ia bahkan merincinya dengan menyebutkan subsidi energi yang terdiri dari subsidi BBM, subsidi LPG 3 kilogram, dan subsidi listrik itu hanya tercatat Rp134,03 triliun. Subsidi BBM sendiri, menurut Anthony, tercatat hanya Rp11 triliun. “Artinya, pernyataan bahwa subsidi BBM sebesar Rp502 triliun untuk tahun anggaran 2022 adalah tidak benar, atau menyesatkan informasi publik,” kata dia.

Anthony bahkan mempertanyakan angka pemerintah tersebut dengan angka yang dilansir pemerintah sendiri. Ia memaparkan, realisasi APBN sampai dengan Juni 2022, sebagaimana dipublikasikan di dalam ‘APBN Kita’ oleh Kementerian Keuangan, realisasi subsidi energi hanya Rp75,59 triliun. Realisasi subsidi energi tersebut terdiri dari realisasi subsidi BBM dan LPG 3 kg sebesar Rp54,31 triliun, dan realisasi subsidi listrik sebesar Rp21,27 triliun.

Alhasil, kata Anthony, bila subsidi BBM di dalam APBN tidak sebesar yang digembar-gemborkan pemerintah dan bahkan ironisnya sebagian kalangan DPR, ia menyatakan kehendak pemerintah untuk menaikkan harga BBM guna mengurangi subsidi sebagaimana yang direncanakan, bukanlah sikap yang fair dan jelas tidak valid. “Artinya, kalau nilai subsidi BBM sebesar Rp502 triliun seperti yang digembar-gemborkan itu terbukti tidak benar, bukankah semua upaya menaikkan harga BBM otomatis harus dihentikan?” tanya dia, retoris. Bagi Anthony, adalah sebuah konsekuensi logis, manakala sebuah kebijakan diambil berdasarkan alasan yang terbukti tidak benar, seharusnya wajib batal.

Bila angkanya masih ‘rouwet‘, tentu saja kita menyayangkan riuh-rendahnya lontaran pernyataan personel Kabinet yang bersipongang mendukung pengurangan subsidi, mengiringi pernyataan Presiden tersebut. Mulai dari Menkeu Sri Mulyani, Menteri BUMN Erick Thohir, yang melontarkan komentar tak langsung namun mendukung pengurangan subsidi, hingga komentar Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang secara langsung meminta masyarakat untuk bersiap-siap menghadapi naiknya harga BBM. Namun kita pun bisa maklum, memang selalu ada saat para menteri bersicepat menegaskan loyalitas mereka kepada Presiden. Terlebih Menteri Bahlil yang bisa jadi juara dalam urusan ini.

Namun yang lebih memprihatinkan –menurut saya, tentu– ‘kampanye’ pengurangan atau mungkin penghapusan subsidi tersebut dibarengi upaya mencari kambing hitam. Dan sayangnya, rakyat yang bisa ditunjuk tanpa menuding nama, yang dijadikan korban laiknya lame duck.

Lihat saja beredarnya meme-poster atau apa pun namanya di belantara media social kita hari-hari kemarin. Sebuah meme resmi keluaran Kementerian Keuangan datang dengan judul ‘Fakta Penerima Subsidi’. Isinya, 89 persen subsidi solar konon –kata ini dipakai agar fair— dinikmati dunia usaha, 11 persen dinikmati rumah tangga, yang 95 persen dari rumah tangga itu adalah keluarga mampu. “Hanya 5 persen yang dinikmati rumah tangga miskin,” tulis meme tersebut.

Sementara subsidi Pertalite konon 14 persen dinikmati dunia usaha, 86 persen dinikmati rumah tangga, yang 85 persen dari rumah tangga itu adalah keluarga mampu. “Dua puluh persen (saja) yang dinikmati oleh rumah tangga miskin,” kata meme itu.

Bagi saya, ironis sekali manakala Pemerintah, c.q Kementerian Keuangan, seolah ingin mengkambinghitamkan rakyat –tepatnya keluarga mampu– dalam urusan buruknya penyaluran subsidi BBM ini. Mungkin karena itu, meme tersebut pada Ahad pagi ini, tak lagi bisa saya akses meski berkali-kali dicoba. Cuitan di Twitter yang awalnya menjadi ‘rumah’ meme tersebut, kini tak lagi bisa saya temukan. Saya –saya tekankan– khawatir hal itu terjadi hanya karena kegagapan saya sendiri akan teknologi.

Mengapa ironis? Pertama, karena kebijakan subsidi itu seolah dilansir tanpa dasar pemikiran yang kuat akan peluang kebocoran yang mungkin terjadi. Boleh-boleh saja Kementerian Keuangan dipenuhi sikap berbaik sangka alias husnuz dzan yang memang dianjurkan agama. Tetapi di sisi lain, alangkah naifnya bila memang itu dilakukan.

Tidakkah Kementerian Keuangan bisa sedikit Googling –alih-alih riset yang serius– terlebih dulu untuk tahu pasti bahwa kejahatan, pencurian, penipuan dan sebagainya, masih menjadi masalah akut bangsa ini? Tidaklah mungkin bila Kementerian Keuangan belum pernah mendengar bahwa dalam sejarah pemikiran tentang manusia pernah ada yang disebut Teori X dari Douglas McGregor, yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia dipenuhi aneka sifat dan sikap keparat? Mungkin teorinya sendiri nyaris mati, tetapi aneka sifat yang berujung kepada laku keparat itu masih gampang kita jumpai di kehidupan bangsa kita.

Tidakkah ada di antara personel Kementerian Keuangan yang pernah naik commuter line alias kereta api lokal, atau busway yang melayani transportasi lintas kota Jakarta, dan menemukan betapa lazimnya kursi-kursi ‘prioritas’ yang disediakan untuk para manula, ibu hamil, dan balita itu dirampok para ABG, bapak-bapak usia 40-an ke bawah, atau ibu-ibu muda?

Sementara, kalau pun saat ini subsidi lebih banyak dinikmati mereka yang dianggap berada, keruwetan, kejatuhan, nyaris bangkrutnya ekonomi sebagian warga karena pandemi COVID-19 yang berjalan menahun ini tidakkah bisa dianggap sebagai pengecualian sementara? Kita tahu, pandemi dan aneka persoalan susulannya, tidak jarang meghempaskan mereka yang dulu bisa kita bilang ‘orang kaya’.

Dengan memaklumi adanya sikap culas sebagian warga masyarakat, menjadi tidak mungkin, tidak arif, bahkan naif manakala Pemerintah menyerahkan urusan distribusi subsidi tersebut kepada kebaikan public. Pemerintah sendiri punya aparat keamanan, Polri dan aneka divisinya misalnya, yang bisa dilibatkan secara intens dalam menangani urusan ini.

Dan hal tersebut, seiring fakta bahwa bukan baru kemarin sore negara ini mengurus subsidi, sejatinya telah berlangsung lama. Dengan hanya sekali klik saja, kita bisa menemukan bahwa sejak Desember 2010 pun fungsi pengawasan BBM bersubsidi sudah melibatkan Kepolisian dan Pemda. Hal tersebut dikatakan Menteri ESDM (saat itu) Darwin Zahedy Saleh dalam rapat kerja antara Pemerintah dengan Komisi VII DPR. Pemerintah, kata Darwin, melalui Badan Pengatur (BPH Migas) akan bekerja sama dengan Kepolisian dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan pendistribusian BBM bersubsidi. Selain itu, Pemerintah akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait pada tahap-tahap awal implementasi kebijakan pengaturan BBM bersubsidi, dengan membentuk Satgas Pengawasan, Satgas Sosialisasi dan Satgas Regulasi.

Lalu, apakah hal-hal baik seperti itu langsung dihilangkan seiring bergantinya rezim? Kita bukan lagi anak-anak ABG, yang dengan kepercayaan buta meneriakkan slogan para seniman pembentuk Angkatan ’45, yang secara revolusioner berkata bahwa kebaikan hanya dimungkinkan dengan membangun peradaban baru di atas puing-puing kebiasaan lama yang telah dihancurkan, bukan? Setidaknya, karena kita pun tidak lagi tengah bermain negara-negaraan, sebagaimana yang mungkin pernah kita lakukan di masa kecil.

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button