News

Jika Kerugian Keuangan Negara dalam Kasus Asabri Tak Faktual, Pakar Hukum: Hakim Harus Berani Katakan Itu Salah

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Mudzakkir menegaskan bahwa kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi haruslah berdasarkan kerugian faktual. Karena itu, kata Mudzakkir, kerugian negara yang dihitung dalam perkara kasus korupsi Asabri harus juga faktual, bukan kerugain potensi.

Dalam konteks ini, Mudzakkir mengapresiasi dissenting opinion Anggota Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Mulyono Dwi Purwanto yang berani berpendapat bahwa perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri sebesar Rp 22 triliun tidak tepat dan tidak terbukti karena penghitungan tidak berdasarkan pada kerugian faktual.

“Kalau dessenting opinion hakim tersebut menilai dan menyimpulkan bahwa perhitungan BPK tersebut tidak mendasarkan kepada kerugianya faktual atau riil/nyata, dan bisa buktikan kekeliruan metode perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tipikor, berarti dessenting opinion tersebut dinilai sebagai sikap yang tepat dan sesuai dengan putusan MK,” ujar Mudzakkir kepada wartawan, Rabu (5/1/2022).

Menurut Mudzakkir, hakim harus berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah termasuk dalam perkara korupsi. Pasalnya, independensi hakim dijamin oleh konstitusi. Yang terpenting, kata dia, terbukti terdapat kekeliruan dalam metode perhitungan kerugian keuangan negara yang tidak berdasarkan kerugian faktual.

“Kalau menilai ada kekliruan dalam metode perhitungan dan menyuarakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah meskipun perkara korupsi, sikap dan pandangan independensi hakim atau kemerdekaan dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, dalam menjalankan amanat Pasal 24 UUD RI 1945,” jelas dia.

Apalagi, kata Mudzakkir, putusan MK sudah menegaskan bahwa kerugian negara dalam perkara korupsi merupakan kerugian negara yang faktual atau nyata, bukan kerugian dalam bentuk potensi.

Diketahui, Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).

“Jika hakim tidak mengikuti isi diktum putusan MK, berarti mengabaikan isi diktum putusan MK yang berarti hakim yang bersangkutan menggunakan kekuasaan kehakiman yang tidak sesuai dengan amanat Pasal 24 UUD RI 1945,” pungkas Mudzakkir.

Sebelumnya, Anggota Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Mulyono Dwi Purwanto menilai perhitungan kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus dugaan korupsi Asabri tidak tepat, tidak terbukti dan tidak mempunyai dasar. Hal ini disampaikan oleh Hakim Mulyono yang menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat dalam memutus empat terdakwa kasus Asabri di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (4/1/2022).

“Perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK tidak punya dasar yang jelas dan tidak memenuhi kerugian negara yang nyata dan pasti sehingga (kerugian) Rp 22 triliun tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,” ujar Hakim Mulyono saat membacakan dissenting opinion.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Willi Nafie

Jurnalis, setia melakukan perkara yang kecil untuk temukan hal yang besar
Back to top button