Jika Pemerintahan Prabowo tak Hati-hati, Kejayaan Industri Sawit Bakal Punah Seperti Gula


Komoditas kelapa sawit masih menjadi primadona lantaran kontribusi untuk kas negara cukup jumbo. Pada 2022, misalnya, ekspor minyah sawit mentah atau crude palm oil (CPO) tembus US$39 miliar, atau setara Rp600 triliun.

Tapi, kabar baik ini bisa menjadi buruk jika pemerintah salah kelola. Seperti halnya industri gula yang pernah menempatkan Indonesia sebagai eksportir terbesar di dunia, saat penjajahan Belanda.

Kini justru berbalik seratus delapan puluh derajat. Indonesia menjadi importir gula terbesar di dunia. Pada 2022-2023, Indonesia mengimpor 5,5 juta ton gula. Atau 10,11 persen dari total impor gula dunia.

“Apakah cerita soal kejayaan kelapa sawit ini, akan bernasib sama dengan gula? Tentu saja kita tidak mau,” ujar mantan Ketum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, Jakarta, dikutip Jumat (6/9/2024).

Joko benar, Indonesia memang pernah merajai pasar gula dunia. Sebelum Perang Dunia II, industri gula merupakan salah satu industri terpenting di Indonesia.

Pada 1928, industri gula menghasilkan tiga perempat dari total ekspor Pulau Jawa. Dan, industri gula menyumbang seperempat dari total penerimaan pemerintah Hindia Belanda. Kala itu, terdapat 178 pabrik gula yang terebar di Pulau Jawa.

Berkeliling Pulau Jawa saat ini, tak banyak tanaman tebu, bahan baku gula yang bisa dijumpai. Karena, banyak pabrik-pabrik gula warisan Belanda yang tutup. Pemicunya karena tidak efisiens. Bisa jadi karena mesin-mesinnya tua dan maraknya korupsi.

Kini kejayaan gula tergantikan oleh kelapa sawit. Namun, bisa pula tergantikan dengan komoditas lain. Pelan tapi pasti, kejayaan sawit terus ditekan, digerogoti, terutama tuntutan keberlanjutan (sustainability) global.

Kegundahan Joko yang lebih dari 20 tahun ‘nyebur’ ke industri sawit nasional, tertuang dalam sebuah buku berjudul “Masih Berjayakah Sawit Indonesia? Menghadapi Tuntutan Sustainability Global”.

“Industri sawit di Indonesia sejatinya sudah berjaya sebagai produsen, konsumen, dan eksportir. Tetapi buku ini mengingatkan kita supaya jangan terlena. Apakah kejayaan sawit yang berperan besar terhadap perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia, akan terus berlanjut atau terhenti juga,” kata Joko.

Dalam 20 tahun terakhir, menurut alumnus Fakultas Pertanian UGM ini, tantangan terberat yang dihadapi industri sawit adalah kampanye hitam yang gencar dilakukan Uni Eropa. 

Hampir semua aspek kehidupan dijadikan senjata untuk menyerang industri sawit antara lain kesehatan, lahan gambut, kebakaran lahan, masyarakat adat, dan persoalan lingkungan.

“Di sinilah muncul pertanyaan, kenapa beragam isu negatif ini tidak dihadapi komoditas non sawit. Ada upaya-upaya menghambat perdagangan minyak sawit dan menimbulkan persepsi negatif terhadap produk sawit,” ujar pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur itu.

Berbagai tuduhan dan fitnah terhadap industri sawit Indonesia, selalu dikaitkan dengan label tidak sustainable. Berbagai kelompok kepentingan global selalu menuntut dengan keras agar industri sawit mematuhi prinsip-prinsip sustainability.

Prinsip-prinsip tersebut secara kaku dipersyaratkan agar perusahaan-perusahaan sawit tetap bisa eksis di pasar minyak nabati global. “Pertanyaan kritisnya adalah, apakah tuntutan sustainability tersebut jujur demi menjaga eksistensi industri sawit atau sebaliknya, justru bertujuan melemahkan bahkan mematikannya,” kata Joko.

Sementara Guru Besar IPB University, Prof Rachmat Pambudy mengapresiasi pemikiran Joko Supriyono, termasuk kegundahannya. Ke depan, dia meyakini, pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan mengembangkan pola pengelolaan sawit yang tepat dan membangun koneksi antara hulu hilir sawit.

“Saya belum di pemerintahan, tapi saya sampaikan bahwa pemerintah yang akan datang akan mendengarkan persoalan bangsa, tentu saja di antaranya persoalan-persoalan di sektor kelapa sawit ini,” ujar Rachmat Pambudy yang juga politikus Partai Gerindra ini.

Menurut pria yang dikenal dekat dengan Prabowo itu, komoditas sawit terbukti memberikan kontribusi sangat besar bagi keuangan Indonesia. Karena itu, pemerintahan Prabowo dipastikan akan memberikan perhatian besar. “Kenapa begitu? Kalau sawit kolaps, Republik ini juga akan kolaps,” katanya.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian, Musdalifah Mahmud memberikan jempol setelah membaca sekelabat buku yang diterbitkan Joko Supriyono.

Buku ini, kata dia, tak ubahnya kontemplasi atas permasalahan yang terjadi di industri sawit nasional saat ini. “Rekomendasi penyelesaian masalah dapat dijadikan pertimbangan pemerintah dan stakeholder sawit untuk melangkah di masa depan,” pungkas Musdalifah.