News

Jika Putuskan Sistem Pemilu Tertutup, MK akan Dicatat dalam Lembaran Hitam Sejarah

Sejauh ini tidak ada alasan dan urgensi bagi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah sistem pemilu legislatif dari sistem terbuka ke sistem tertutup. Berbeda dengan aneka keputusan MK lainnya, putusan yang terkait sistem pemilu legislatif, akan berefek panjang terhadap citra MK di masa depan. Salah membuat keputusan, MK akan dicatat dalam lembaran hitam sejarah.

“Ini tentu bukan soal baik buruk dan plus minus sistem tertutup atau terbuka saja, tapi soal sejumlah fakta di lapangan hari ini. Bagaimana opini yang berkembang, baik dari kalangan mayoritas pimpinan parpol yang jelas menolak, civil society yang tak ingin terjadinya pengkhianatan demokrasi, maupun soal tahapan pemilu yang sudah berjalan,” ungkap peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Toto Izul Fatah kepada pers di Jakarta, Selasa (23/5/2023).

Ia menanggapi kesan molornya keputusan MK terkait dengan sistem pemilu legislatif yang mengundang berbagai spekulasi liar. Menurut Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA ini, MK harus mempertimbangkan banyak hal dan aspek sebelum membuat keputusan. Bukan hanya dari aspek hukum, tapi juga aspek sosiologis, psikologis dan tentu saja politis. Bahkan aspek administratif pelaksanaan pemilu yang sudah mulai berjalan dan tinggal beberapa bulan lagi ke Pemilu 2024.

Toto khawatir, jika MK salah membuat keputusan, akan terjadi penolakan masif dari aneka elemen lewat aksi massa yang berpotensi mengundang kerusuhan atau chaos. Apalagi, sejumlah elit parpol seperti PAN dan PKB sudah menyampaikan ancamannya. Sementara, jelang Pemilu 2024 bangsa ini sedang membutuhkan situasi kondusif yang memberi ruang ketenangan.

“Beberapa aspek itulah yang saya harapkan kepada para hakim MK untuk dipertimbangkan. Sebab, jika kondisi terburuk itu yang terjadi, maka MK patut disalahkan. Kenapa? Karena mereka tidak mempertimbangkan aspek-aspek penting tadi ,” tegasnya.

Dalam penilaian Toto, tak ada urgensinya untuk mengubah sistem pemilu dari terbuka ke tertutup. Justru sistem terbuka inilah yang sebenarnya lebih mendekati pada tuntutan kebutuhan spirit berdemokrasi. Dan itulah yang seharusnya dipertimbangkan jika fair mau bicara soal kualitas pemilu.

Minimal, kata dia, lewat sistem terbuka ini, selain memberi ruang yang lebih luas terhadap partisipasi rakyat, juga memberi kesempatan terbuka kepada para caleg yang mau dipilih dengan rakyat yang akan memilih. Jadi, bukan pimpinan parpol yang memilih wakil rakyatnya di DPR seperti konsekuensi dari sistem tertutup.

Toto menambahkan, yang paling krusial untuk dipertimbangkan sebenarnya adalah soal tahapan pemilu yang sudah berjalan. Sementara, tak ada keadaan genting yang mengancam negara untuk mengubah sistem pemilu menjadi tertutup saat ini.

“Kalau, misalnya, ada sebagian hakim yang merasa tersandra untuk mengikuti pesanan kekuatan politik tertentu, mudah-mudahan tidak ada, sebaiknya dicari jalan tengahnya. Salah satunya, untuk pemilu 2024 tetap berlaku sistem terbuka, dan yang sistem tertutup baru berlaku pada pemilu 2029,” tandasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button