John Adams-Thomas Jefferson; Kennedy-Lyndon B. Johnson; Sayang Masalah Prabowo-Fufufafa Kurang Bermartabat


Jika pertanyaan yang paling mengemuka di masyarakat dalam skandal “Fufufafa” ini adalah, benarkah hal itu milik atau setidaknya terkait Gibran, justru itu menunjukkan masih kuatnya sisi baik dan husnuz dzan rakyat Indonesia kepada pemimpinnya. Barangkali mereka berpikir, apa mungkin di negeri 270-an juta orang ini bisa terpilih pemimpin dengan kualitas subsisten saja?  

Mata boleh celong, pandangan kata orang kadang kosong, tapi Gibran Rakabuming Raka tampaknya merasa cukup gagah untuk mengulang sejarah kepresidenan Amerika Serikat di Indonesia. Tapi tentu saja, itu pun kalau memang terbukti dialah yang merupakan pemilik dan pengisi akun yang tengah heboh tersebut—“fufufafa”.

Apa sih arti “fufufafa”? Konon, kalau kita melihatnya dengan kacamata orang sok serius, istilah yang tidak memiliki arti khusus itu terkadang digunakan dalam konteks informal, terutama di media sosial atau percakapan online, sebagai suara tertawa atau ekspresi lucu. Bisa juga digunakan secara main-main untuk menggambarkan sesuatu yang tidak serius atau sekadar penanda suasana hati yang riang atau santai.

Tapi karena publik terlanjur menempelkannya pada Gibran, kami memilih percaya nama akun itu datang melayang begitu saja dari pribadi riang zonder pengalaman susah, dari karakter easy going yang memetiknya dari udara untuk memberi akun itu nama. Kalau kini ternyata akun itu sudah jauh dari suasana “hu hu ha ha”, eh “fufufafa”, barangkali itu sekadar syarat untuk menunjukkan bahwa hidup memang harus paripurna. Meski mungkin tak sepayah urusan warga miskin menutup lubang utang, hidup juga harus punya sisi ribetnya pada setiap orang.

Bagaimana pemilik akun masih bisa ber-“fufufafa” bila urusannya sudah menyoal sisi paling dalam kehidupan pribadi seseorang; keluarga? Bukankah bagi banyak lelaki, masih tersisa banyak ruang toleransi bila yang disenggol masih urusan diri? Namun tak kurang-kurang dari mereka akan bereaksi mengejutkan manakala urusan “senggol-senggolan” itu merambah keluarga; terutama ibu, istri, dan anak. Tak berlebihan bila pemerhati politik, M. Rizal Fadillah, melihat urusan yang sudah jauh tertinggal di belakang ini “potensial berdimensi jauh ke depan”. “Hubungan “Pres” dan “Wapres” akan saling menekan dan membunuh,”tulisnya dalam sebuah artikel yang beredar Jumat (14/9/2024). Lihat, Rizal pun masih menyisakan “Pres” dan “Wapres” itu dalam balutan tanda petik.

Benarkah Gibran?

Pertanyaan yang paling banyak mengemuka di publik saat ini soal “skandal Fufufafa” adalah benarkah akun itu–kalau pun bukan milik—terkait erat dengan Gibran Rakabuming Raka, wapres terpilih dan orang kedua Republik setelah Prabowo Subianto, beberapa puluh hari ke depan?  Bagi saya pertanyaan yang berbalut sketisisme itu menunjukkan masih adanya sisi baik dan husnuz dzan rakyat Indonesia kepada pemimpinnya.

Bagi banyak warga, pemimpin adalah persona di atas rata-rata. Sebab bila hanya orang “biasa-biasa saja” mana mungkin kepadanya rakyat memberi tambahan beban kehidupan di luar urusan dia dan keluarga? Soal ini saya kira manusiawi, dan tak khusus berlaku di negeri ini.

Tentang pertanyaan dasar tadi, benarkah Gibran? Sejatinya belum ada yang secara tegas berani memberi garansi. Benar, dalam artikel yang ditulis Rizal, yang menegaskan bahwa “… 70 % tulisan menyerang Prabowo…” itu tertera bahwa: “… Pakar Telematika Dr. KRMT Roy Suryo, MSc, yakin 99,99 % akun itu milik Gibran.” Tetapi sumber dari mana kutipan itu, alpa dijelaskan.

Namun bukan berarti hubungan antara “Fufufafa” dan Gibran juga jauh dan lemah. Pada Sabtu (14/9/2024), di banyak laman berita beredar bagaimana Roy Suryo mengungkapkan caranya menelusuri akun Kaskus Fufufafa itu hingga memiliki kedekatan dan layak diduga berkaitan dengan Gibran Rakabuming Raka.

Roy mengakui menggunakan pendekatan teknik psikologi dalam menelusuri akun Fufufafa. Roy, orang lama di jagat IT itu, menggunakan kebiasaan dan time frame dari akun Fufufafa untuk menelusuri dugaan bahwa akun tersebut milik Gibran.

“Orang itu kan punya kebiasaan, dan ini nggak bisa diubah. (Orang juga) punya time frame yang bisa kita selidiki satu per satu, ini yang saya gunakan untuk identifikasi (akun Fufufafa),” kata Roy Suryo dalam siniar bersama mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto, yang tayang Jumat (13/9/2024) lalu.

Dari pemetaan untuk mengetahui pola akun Fufufafa, menurut Roy terungkap bahwa akun itu pernah memasuki situs-situs dewasa. Namun yang relevan untuk urusan saat ini, kata Roy, diketahui akun Fufufafa memiliki kaitan dengan akun X yang diduga milik Gibran, @rkgbrn. Roy kemudian mengungkapkan, akun X @rkgbrn pernah juga disebut dua kali oleh akun @kaesangp milik adik Gibran, Kaesang Pangarep. Pertama, saat akun @kaesangp mengonfirmasi pemilik @rkgbrn tak bisa login karena lupa sandi. Kedua, ketika @kaesangp mengucapkan ulang tahun kepada @rkgbrn dan ibunya.

“(Itu Kemudian) dikonfirmasi oleh orang yang namanya sangat kita kenal sekarang, @kaesangp. (Akun) @kaesangp jelas betul Kaesang Pangarep,” ujar Roy. “(Akun) @kaesangp ini pernah mengucapkan selamat ulang tahun kepada Ibu dan Fufufafa. Itu jelas betul dialamatkan ke @rkgbrn,” kata Roy, menambahkan.

Roy juga bercerita, “Fufufafa” pernah bertanya lokasi pembelian gunting steak di Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta. Di hari yang sama, tiga jam setelah “Fufufafa” menulis soal gunting steak itu, akun X @Chili_Pari menanyakan hal serupa. Untuk Anda ketahui, X @Chili_Pari adalah akun X katering milik Gibran.

Yang membuat Roy meyakini “Fufufafa” adalah Gibran, tak lain karena penulisan dan tanda baca yang digunakan “Fufufafa” dan @Chili_Pari sangat mirip. “Cara penulisan gw (gue), itu sama persis, sampai di tanda bacanya. Itu bukan copas, itu kebiasaan orang menulis,”kata Roy, tegas.

Pundi-pundi argumentasi Roy juga berisi soal artikel lawas yang memuat pernyataan politisi Demokrat, Andi Arief. Dalam artikel itu, Andi Arief menyebut anak pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghilang. Akun “Fufufafa” seolah gerah dengan penyebutan itu dan kontan menanggapi.

“Kemarin netizen mengucapkan terima kasih kepada Andi Arief. Dulu, Andi Arief sempat menyinggung anak Presiden ini menghilang. Ini yang jawab “Fufufafa”, “Gue nggak ngilang”,” kata Roy, menirukan “Fufufafa”.

Terakhir, Roy menyinggung jawaban Fufufafa saat perusahaan Presiden Jokowi dikabarkan mengalami kebangkrutan pada 2014. Menurut Roy, “Fufufafa” menjawab secara detail sehubungan kabar tersebut. Menurut Roy, apabila “Fufufafa” dikelola orang lain, tak mungkin bisa memberikan jawaban seperti itu.

“Ada peristiwa di tahun 2014, ketika ada seseorang mengatakan soal kebangkrutan yang dialami perusahaan Jokowi. Yang jawab “Fufufafa” ini, dengan sangat detail,” kata Roy. “Sampai menyangkut keluarga atau Omnya dia. Kalau itu seorang admin, katakanlah begitu, dia tidak akan mungkin menjawab secara detail seperti itu. Sangat tidak mungkin kalau ini tidak ada kaitannya sama sekali.”

Sebenarnya Gibran sendiri tidak berdiam diri. Namun ia sendiri tak bisa dibilang membantah dikaitkan dengan kepemilikan akun “Fufufafa”. “Lha mbuh, takono sing nduwe akun (nggak tahu, tanya saja pemilik akun),” kata Gibran, singkat, saat ditanya wartawan, Selasa (10/9/2024) lalu.

Pernah Terjadi dalam Sejarah AS

Sekali lagi, jika “Fufufafa” tak lain dari Gibran, sekilas, entah sengaja atau tidak, ia mengulang sejarah kepresidenan AS, di sini, di Indonesia. Sejarah mencatat, setidaknya ada dua pasangan Presiden-Wapres AS yang diketahui tidak akur selama mereka menjalankan tugas. Pasangan pertama adalah pasangan Presiden kedua AS, John Adams dan wakilnya, Thomas Jefferson. Pasangan kedua lebih dekat dengan kehidupan kita, meski juga jauh di luar jangkauan Gibran dalam hal usia:John F. Kennedy dan wakilnya, Lyndon B Johnson.

Sama-sama pejuang kemerdekaan Amerika, Adam dan Jefferson awalnya adalah teman dekat yang bekerja sama selama Revolusi Amerika. Adams, yang lebih tua, sangat menghormati kecerdasan dan visi Jefferson. Mereka berdua memainkan peran penting dalam penyusunan Deklarasi Kemerdekaan Amerika, di mana Jefferson adalah penulis utama, dan Adams salah satu pendukung utamanya.

Setelah revolusi, perbedaan pandangan politik mereka mulai muncul. Adams, seorang Federalis, percaya pada pemerintahan pusat yang kuat dan kekuasaan eksekutif yang lebih besar. Sebaliknya, Jefferson, seorang Anti-Federalis (yang kemudian menjadi Demokrat-Republikan), lebih mendukung hak-hak negara bagian dan pemerintahan yang lebih terbatas.

Menjelang pemilihan Presiden 1797, kampanye keduanya penuh dengan penghinaan pribadi dan politik. Adams dan Jefferson saling menyerang dalam surat kabar dan pidato, menciptakan permusuhan yang mendalam di antara mereka. Konon, Jefferson lebih kenceng untuk urusan leceh-meleceh itu.

Pada kasus penyebutan Presiden AS, Jefferson yang cenderung memilih sebutan “Presiden AS” dibanding Adams yang cenderung mendahuluinya dengan “Yang Mulia”,  sempat menggambarkannya sebagai orang yang “sangat konyol.”

Selama perdebatan itu pula, rekan Jefferson, Senator William Maclay dari Pennsylvania, menyamakan Adams dengan “seekor monyet yang baru saja dimasukkan ke celana pendek.” Temannya yang lain, Ralph Izard, menyarankan agar Adams disebut sebagai “Yang Gemuk,” sebuah lelucon yang segera menjadi populer.

Ketika Adams memenangkan kursi kepresidenan dengan selisih suara tipis (71 untuknya dan 68 untuk Jefferson), Jefferson kemudian menjadi wakil presiden. Itu tak menghentikan perseteruan di antara keduanya. Menurut Joseph Letombe, konsul Prancis di Philadelphia, dalam sebuah pertemuan, Jefferson kerap menyebut Adams “sombong, mencurigakan, dan keras kepala.”

Belakangan, terkuak dugaan kuat bahwa James T. Callender, seorang propagandis Republik yang kerap menghina Adams hingga sempat dipenjarakan,  secara diam-diam dibiayai Jefferson.

Pada Pilpres 1780, Jefferson mengalahkan Adams. Namun saat keduanya pensiun, keduanya mencoba memulai hubungan baik dengan berkorespondensi secara intens. Disebut-sebut, surat-surat di antara mereka sampai mencapai angka 150 masing-masing sisi. Surat-surat itu menyoal banyak wavana, dari demokrasi, hak-hak warga, masa depan AS, hingga urusan filosofi.

Yang menarik, keduanya meninggal pada hari yang sama, pada peringatan 50 tahun kemerdekaan mereka, 4 Juli 1826.  

Hubungan antara John F Kennedy dengan wakilnya yang awalnya ia ambil untuk memperkuat posisinya di bagian selatan AS, konon demikian pula. Namun terlalu panjang untuk kita bahas di sini.

Andai benar Gibran

Melihat sekilas hubungan Adams-Jefferson dan Kennedy-Johnson, yakni hubungan antara presiden dan wakilnya, andai saja terbukti memang Gibran berbuat keisengan yang norak, dinamika hubungan Prabowo dengannya ke depan kemungkinan besar akan tetap penuh dengan ketegangan, meski secara politik mereka harus bekerja sama.

Memang, metafora Adams-Jefferson dan Kennedy-Johnson pun mungkin kurang “apple to apple” dengan kasus “Fufufafa” yang diduga menghina Prabowo. Bila tokoh-tokoh politik besar biasanya diwarnai perdebatan intelektual yang mendalam dan sering kali, bahkan dalam ketegangan, serta ada rasa hormat yang mendasari karena kecerdasan dan kontribusi mereka masing-masing, tidak demikian halnya dengan “Fufufafa”.

Jefferson dan Adams, meskipun berbeda pandangan politik, adalah dua dari pemikir terbesar di zamannya. Ketika mereka saling menyerang, itu sering dalam konteks perdebatan filosofis yang kompleks dan didasarkan pada visi yang berbeda untuk masa depan negara mereka. Kritik mereka, meskipun tajam, tetap berada dalam ranah perdebatan politik yang serius.

Sementara “Fufufafa” dan Prabowo, dugaan hinaan yang dilontarkan akun “Fufufafa” terhadap Prabowo Subianto tampak lebih personal dan kurang bermartabat. Ini lebih mirip serangan ad hominem daripada perdebatan politik yang substansial.

Jika benar bahwa Gibran adalah pemilik akun tersebut, maka hal ini menunjukkan kurangnya kedewasaan politik dan penghargaan terhadap diskursus publik yang sehat. Hinaan semacam itu tidak hanya merusak reputasi pribadi, tetapi juga merendahkan kualitas perdebatan publik dan politik.

Jika saat ini, Prabowo–sebagai tokoh yang lebih tua dan berpengalaman—terlihat memilih untuk mengabaikan serangan tersebut atau memandangnya sebagai hal yang tidak signifikan dibandingkan dengan tujuan politik yang lebih besar, itu pun tak berarti urusan sudah kelar. Hal itu masih dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan kerja mereka ke depan, mengingat perbedaan besar dalam cara mereka berkomunikasi dan berinteraksi secara politik.

Hanya, ada yang memiriskan dalam fakta politik kita di sini, hari ini. Pada sebuah tulisan Gordon S. Wood dalam The New York Review of Books, 13 April 2000, dengan hal-hal seperti itu pun, menurutnya, politik bagi elite Amerika abad ke-18 adalah ”an affair of honor”. Urusan kehormatan. Itu yang tidak kita lihat di sini, saat ini.[dsy/vonita/clara/reyhaanah/diana/rizky’]