News

Jokowi Dinilai Gagal jadi Panglima Besar Pemberantasan Korupsi

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal menjadi panglima besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Hal ini disampaikan, bertepatan momentum Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh pada Kamis (9/12/2021).

Mungkin anda suka

Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo mempertanyakan komitmen Presiden Jokowi dalam agenda pemberantasan korupsi. Pasalnya, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini rontok dengan alih status ASN, dan dipimpin dengan Pimpinan KPK yang bermasalah.

“Sehingga Presiden gagal menjadi panglima besar dalam agenda pemberantasan korupsi,” kata Topan dalam keterangannya.

Bahkan Topan menyebut pemberantasan korupsi kian mendekati titik nadir. Fenomena state capture, dimana cabang-cabang kekuasaan negara semakin terintegrasi dengan kekuatan oligarki untuk menguasai sumber daya publik, dengan cara-cara korup dan kemampuan untuk meruntuhkan sistem penegakan hukum terjadi di berbagai bidang.

“Demikian halnya, penanganan pandemi COVID-19 justru dimanfaatkan sejumlah elit politik yang berkelindan dengan pelaku bisnis untuk meraup keuntungan di tengah kemerosotan ekonomi dan peningkatan masalah sosial. Apa yang telah dijanjikan oleh Pemerintah untuk memperkuat pemberantasan korupsi tidak terwujud. Sebaliknya, masyarakat terus menjadi korban atas kejahatan korupsi,” sesal Topan.

Dia mengutarakan, dalam satu tahun terakhir masyarakat dapat secara jelas melihat agenda pemberantasan korupsi semakin dikesampingkan oleh negara. Bagaimana tidak, dari aspek penegakan hukum saja, kebijakan atau keputusan yang diambil justru semakin tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi.

“Misalnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengujian materi UU KPK, penghapusan syarat memperketat remisi bagi pelaku korupsi oleh Mahkamah Agung, hingga vonis ringan atas kasus korupsi yang melibatkan pejabat politik,” papar Topan.

Senada juga disampaikan peneliti ICW Kurnia Ramadhana. Dia menuturkan, agenda penguatan KPK sebagaimana disampaikan oleh Presiden Jokowi jauh panggang dari api. Kebijakan politik revisi UU KPK, terpilihnya komisioner KPK bermasalah, pemecatan puluhan pegawai lembaga antirasuah secara ugal-ugalan melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) mencerminkan bukti pelemahan antikorupsi, alih-alih penguatan.

“Celakanya, Presiden tidak mengambil tindakan berarti, meskipun rekomendasi lembaga negara seperti Ombudsman dan Komnas HAM yang menemukan praktik pelanggaran serius atas TWK KPK,” cetus Kurnia.

Pegiat antikorupsi ini memandang, meredupnya kebijakan politik untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi dapat dilihat dari politik legislasi nasional. Sejumlah regulasi penting seperti Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak pernah dimasukkan dalam program legislasi nasional prioritas.

Bahkan, merosotnya upaya pemberantasan korupsi berimbas pada semakin buruknya pengelolaan etika pejabat publik. Praktik rangkap jabatan publik, menyatunya kepentingan politik dan bisnis, seperti konflik kepentingan pejabat dalam bisnis PCR dan obat-obatan dalam penanganan pandemi Covid-19 menjadi bukti konkret melemahnya tata kelola pemerintahan.

Oleh karena itu, momentum Hari Antikorupsi Dunia ini patut kita rayakan dengan kesedihan. Masyarakat perlu menyadari bahwa menyandarkan harapan tinggi pada negara untuk memberantas korupsi akan jatuh pada mimpi belaka.

“Karena korupsi selalu mengorbankan kita sebagai warga masyarakat, momentum hari Antikorupsi Dunia ini dapat menjadi titik balik perlawanan masyarakat terhadap korupsi,” pungkas Kurnia.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Ivan Setyadhi

Dreamer, Chelsea Garis Biru, Nakama, Family Man, Bismillah Untuk Semuanya, Alhamdulillah Atas Segalanya
Back to top button