Hangout

Jokowi Jangan Terburu-Buru Akhiri Status Pandemi COVID-19

Senin, 28 Nov 2022 – 18:48 WIB

Jokowi Jangan Terburu-Buru Akhiri Status Pandemi COVID-19 - inilah.com

Kebijakan mitigasi COVID-19 dan juga perilaku masyarakat Indonesia masih dinilai kurang siap untuk menyambut berakhirnya status pandemi COVID-19. (Foto: Dok. Pribadi Dicky Budiman)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengumumkan adanya peluang bahwa pandemi COVID-19 akan berakhir pada Maret 2023. Pernyataan tersebut mendapat sorotan dari para epidemiolog. Pemerintah disarankan untuk tidak grusa-grusu mengakhiri status pandemi.

Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University Australia mengaku optimistis bahwa pandemi COVID-19 bisa dinyatakan berakhir pada kuartal pertama 2023.

“Namun, kemungkinan tersebut hanya bisa tercapai asalkan jumlah kasus positif COVID-19 tidak mengalami lonjakan,” kata Dicky yang juga Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (28/11/2022).

Selain itu, sambung dia, vaksinasi ketiga atau booster juga harus terus digencarkan hingga mencapai cakupan 90 persen sebelum pandemi ini dinyatakan berakhir. Dicky memprediksi lonjakan kasus COVID-19 bakal terjadi hingga akhir Januari 2023 akibat banyaknya subvarian baru Omicron yang menyebar.

“Sangat mungkin naik hingga Januari 2023, karena juga saat ini gelombang yang terjadi disebabkan lebih dari satu subvarian,” ungkap Dicky.

Epidemiolog UGM Riris Andono Ahmad mengungkapkan hal senada. Menurut dia, bagaimanapun, akhir dari status pandemi ini bukan berarti virus COVID-19 tidak ada sama sekali. “Virus tersebut akan tetap ada di tengah masyarakat. Hanya saja, tingkat keparahannya tidak lagi menjadi ancaman kesehatan yang serius,” tuturnya.

Oleh karena itu, instruksi Presiden Jokowi yang meminta Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk berkonsultasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai status pandemi COVID-19 pada bulan Oktober lalu dianggap terlalu terburu-buru.

“Hingga saat ini, kebijakan mitigasi COVID-19 dan juga perilaku masyarakat Indonesia masih dinilai kurang siap untuk menyambut berakhirnya status pandemi COVID-19,” timpal dia.

Hingga saat ini, masyarakat dinilai belum sepenuhnya disiplin dalam melakukan 5M, yakni mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas.

“Karena itu, pemerintah hendaknya menerapkan kebijakan agar masker bisa menjadi budaya baru di masyarakat,” ungkap Riris.

Jika masyarakat dibiasakan untuk tetap memakai masker, kata dia, terutama di ruang tertutup, risiko penularan virus COVID-19 dan penyakit saluran pernapasan lainnya dapat berkurang hingga 75%. “Membiasakan diri untuk rajin mencuci tangan dan menghindari keramaian jika tidak terlalu diperlukan juga sama pentingnya,” papar dia.

Tak hanya itu, pemerintah disarankan sebaiknya terlebih dahulu memastikan cukup atau tidaknya suplai vaksin booster yang tersedia di berbagai daerah. Belum lagi, edukasi tentang pentingnya vaksinasi kepada masyarakat yang juga masih menjadi pekerjaan rumah alias PR besar hingga saat ini.

Sampai sekarang, capaian vaksinasi COVID-19 dosis pertama hanya 87,5 persen dan vaksinasi dosis kedua 73,41 persen. Adapun masyarakat yang sudah mendapat vaksin dosis ketiga atau booster baru 28,21 persen.

“Ini masih jauh dari target vaksinasi untuk mengakhiri status pandemi yang dikemukakan,” tutur Dicky Budiman kembali menambahkan.

Padahal, menurut Teguh Haryo Sasongkok, peneliti kesehatan dari International Medical University Malaysia, vaksinasi COVID-19 akan tetap dibutuhkan secara rutin hingga beberapa tahun ke depan.

“Bagaimanapun juga, varian baru dari virus Corona ini akan terus bermunculan sehingga vaksin untuk virus tersebut juga perlu untuk selalu dimutakhirkan. Jika demikian, maka Indonesia masih mempunyai banyak PR yang harus diselesaikan sebelum bisa memasuki status endemi,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button