News

Jokowi Lewatkan Kesempatan Berharga di Sidang Umum PBB

Rabu, 28 Sep 2022 – 16:37 WIB

Presiden Joko Widodo kembali tidak menghadiri Sidang Majelis Umum PBB di New York, AS. Ketidakhadiran Jokowi berarti melewatkan kesempatan berharga untuk memperjuangkan perdamaian dan nasib negara-negara miskin.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memimpin delegasi Indonesia menggantikan Presiden Jokowi dalam Sidang Majelis Umum PBB, yang mulai digelar sejak pekan lalu hingga 27 September 2022.

Ini bukan kali pertama Jokowi tidak menghadiri sidang umum yang berlangsung secara tatap muka. Sejak awal pemerintahan di periode pertamanya pada tahun 2014, Jokowi tidak pernah menghadiri langsung sidang umum PBB. Ia selalu diwakili oleh Jusuf Kalla selaku wakil presiden ketika itu mulai dari 2015, 2016, 2017, 2018 dan yang terakhir 2019. Jokowi hanya hadir ketika sidang itu dilangsungkan secara virtual dalam dua tahun terakhir.

Direktur Jenderal Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri Tri Tharyat, mengatakan rencananya, Menlu Retno akan menyampaikan pidato secara langsung di Sidang Umum PBB mewakili Indonesia. Presiden Jokowi tidak dapat menyampaikan pidato itu secara virtual karena ketentuan PBB yang mengharuskan pemberi pidato hadir secara langsung. Tri Tharyat tidak menjelaskan alasan ketidakhadiran Presiden Jokowi dalam sidang umum PBB kali ini.

Melewatkan Kesempatan Berharga

Publik masih ingat ketika Presiden Indonesia Joko Widodo mengunjungi Ukraina dan Rusia musim panas ini, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan bahwa presiden ‘memilih untuk mencoba berkontribusi, daripada memilih untuk diam’. Namun sekarang, dengan situasi dunia pada saat yang berbahaya, ia telah diam. Ini membingungkan.

Memang, dia bukan satu-satunya pemimpin yang tidak hadir di forum tertinggi bangsa-bangsa dunia ini. Presiden China Xi Jinping dan Perdana Menteri India Narendra Modi juga tidak hadir. Namun ketidakhadirannya kali ini di Sidang Umum PBB seperti melewatkan kesempatan berharga terutama menyangkut peran Indonesia untuk menciptakan perdamaian dunia sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945.

Mengutip Bloomberg, Sidang Majelis Umum PBB kali ini bukan pertemuan rutin biasa. Kepercayaan di antara kekuatan global berada pada titik rendah, dan dunia sedang bergulat dengan krisis yang semakin parah. Yang paling segera membutuhkan penanganan adalah dampak dari serangan Rusia ke Ukraina yang secara khusus membebani negara-negara berkembang, dengan kenaikan harga bahan bakar, pangan, dan ancaman yang lebih luas yakni ketidakstabilan.

Moskow mengancam akan menggagalkan kesepakatan yang memungkinkan ekspor gandum mengalir. Ini adalah bencana yang seharusnya menjadi perhatian Jokowi. Indonesia bisa berperan karena Rusia membutuhkan pengimpor bahan bakar yang besar di tengah isolasi yang diterapkan AS dan sekutunya.

Ini juga bukan tahun yang biasa-biasa saja bagi Jokowi sendiri, yang mendekati akhir masa jabatannya, sehingga tentu harus mempertimbangkan legacy atau warisan yang baik terutama bagi kepentingan negara dan dunia.

Saat ini Jokowi memegang kursi kepresidenan G20 dan akan menjadi tuan rumah bagi para pemimpin dunia, termasuk, diperkirakan, Putin dan timpalannya dari Ukraina Volodymyr Zelenskyy untuk berkumpul tahun ini di Bali. Seperti yang dikatakan Jokowi, Indonesia saat ini berada di ‘puncak kepemimpinan global’. Semoga saja ketidakhadiran Jokowi di New York tidak berdampak pada perhelatan G20 di Bali, November nanti.

Jadi mengapa ia tidak ke New York? Masih mengutip Bloomberg, dalam analisa penulis buku dan mantan jurnalis Ben Bland tentang pemimpin Indonesia, mengutip seorang pejabat Jakarta mengatakannya bahwa ‘pandangan Jokowi adalah, mengapa saya harus pergi ke PBB, tidak ada uang di sana dan sebenarnya kami harus membayar mereka’. Meskipun daya tarik pribadinya telah membukakan pintu di luar negeri, Jokowi cenderung fokus pada keuntungan investasi.

Alasan lainnya, pilihan Jokowi untuk tidak hadir di forum tersebut juga kemungkinan besar dipicu oleh unjuk rasa yang marak terjadi di banyak daerah akibat kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak. Tampaknya Jokowi ingin memastikan sendiri kondisi dalam negeri stabil.

Di tahun-tahun awal menjabat, Presiden Jokowi memiliki alasan yang tepat untuk berkonsentrasi di dalam negeri mengingat ia masih perlu membangun basis kekuatan dukungan elit atau militer. Tetapi masa jabatan keduanya, yang sekarang didukung oleh koalisi yang luas, seharusnya menjadi momen Jokowi untuk melihat lebih jauh. Meskipun ada upaya yang patut dipuji, seperti halnya kunjungan ke Kiev dan Moskow, namun hasil dari kunjungan itu belum maksimal.

Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan terpadat di Asia Tenggara, yang selama ini memiliki bobot pengalaman dan pengaruh yang besar di kancah politik internasional. Tahun ini seharusnya menjadi momen untuk mulai memperbaikinya dengan terus menyuarakan kebijakan luar negerinya yang bebas-aktif.

Sejarah membuktikan, Presiden Soekarno dulu menjadikan forum sidang umum PBB sebagai sesuatu yang sangat penting, sampai pidato presiden pertama yang berjudul ‘To Build the World a New’ menarik perhatian dunia dan menjadikan Indonesia dihormati di kancah internasional.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button