Market

Jokowi Naikkan Harga BBM, Rupiah Terancam Melemah Ribuan Persen

Tak dapat dibantah, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diumumkan Presiden Jokowi akhir pekan lalu menjadi pemicu lambungan inflasi. Jika pemerintah gagal mengelolanya, ini dapat berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah hingga ribuan persen dalam jangka panjang.

Kenyataan tersebut bukanlah omong kosong. Sebab, secara historis rupiah telah melemah ribuan persen sejak 1970 atau dalam kurun 52 tahun terakhir.

“Kita mungkin enggak belajar dari sejarah. Sekarang ya itu-itu saja masalahnya. Mudah-mudahan kita bisa kontrol inflasi karena itu langsung tercermin pada kurs (rupiah) melemah, inflasi tinggi, dan daya saing ekspor lemah,” kata Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual kepada Inilah.com di Jakarta, Rabu (7/9/2022).

Pernyataan David tersebut mengomentari hitung-hitungan Ekonom Senior Kwik Kian Gie empat tahun silam yang masih relevan untuk menjelaskan depresiasi rupiah. Mata uang Garuda ini mengalami depresiasi 3.757 persen sejak 1970.

“Sebab, per 31 Desember 1970, nilai tukar rupiah berada di Rp363 per dolar AS dan sekarang di level Rp14 ribu,” ujar Kwik.

Padahal, dolar Singarpura hanya melemah sebesar 57%, Ringgit Malaysia 31%, Baht Thailand 52%, dan peso Filipina 756%. Pelemahan mata uang negara-negara tetangga jauh lebih rendah ketimbang rupiah.

Menurut pendapat Kwik, rupiah berpeluang terus merosot hingga tidak ada batasnya. Kecuali, jika ada pemimpin nasional yang sangat kuat dan mengerti persoalan sehingga berani membalikkan kondisi itu. “Jika sepanjang 48 tahun (1970-2018) seperti ini, mengapa selanjutnya tidak. Pendapat saya akan demikian terus,” tukasnya.

Untuk belajar dari sejarah, David memaparkan 3 fase sejarah hingga rupiah melemah ribuan persen. Pertama, pada zaman Presiden Soeharto di zaman Orde Baru, Indonesia menerapkan nilai tukar fixed alias tetap. “Saat itu, kita menganut sistem mata uang yang dipatok,” tuturnya.

Pada 1970, Indonesia mengalami krisis stagflasi. Sebelumnya, ada Gunting Syafrudin pada 1950-an. Setelah itu, terjadi hiperinflasi yang pernah mencapai 600% pada periode 1963-1965. “Lalu, sejak 1970, banyak peristiwa yang membuat inflasi tinggi,” tuturnya.

Setelah itu, (kedua) pemerintah sering melakukan devaluasi atau penurunan nilai uang yang dilakukan dengan sengaja, seperti pada 1980, 1981, 1982, dan 1986.

Lalu, (ketiga), Indonesia menganut managed float regime alias rezim mata uang mengambang terkendali saat memasuki tahun 1990-an. “Floating tapi dalam kisaran 5 persen baik melemah maupun menguat sepanjang tahun,” papar dia.

Hal itu dilakukan karena inflasi Indonesia saat itu terhitung tinggi dalam kisaran 8-10%. Sedangkan inflasi mitra dagang utama Indonesia, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan berada di level yang lebih rendah dalam kisaran 4-5%.

“Karena itu, managed float-nya 5-7% untuk rupiah setalah 1990,” ucap David.

Pada era Orde Baru, Indonesia masih menyandang status net exportir minyak. Saat itu, ekspor komoditas menyumbang 80 persen dari total ekspor komoditas sehingga saat itu kuat di ekspor komoditas terutama Migas. Kondisi itu berbeda dengan sekarang yang porsi ekspor komoditasnya 40-50%.

Akan tetapi, David menggarisbawahi, pemerintah Orde Baru juga tetap memilih kenaikan harga BBM yang memicu inflasi. Sebab, saat itu Indonesia hanya mengandalkan ekspor minyak. “Komoditas lain, seperti CPO dan batu bara belum mengembangkannya untuk ekspor,” ucapnya.

Akibatnya, devaluasi terhadap rupiah terus dilakukan mengikuti kondisi APBN yang tertekan. Apalagi, subsidi minyak juga saat itu terhitung besar. “Kejadiannya itu berulang-ulang,” ungkap dia.

Kemudian, Indonesia kembali terpukul pada 1988 di mana rupiah melemah dari Rp2.500-Rp3.000 per dolar AS menjadi Rp16.000 per dolar AS. “Ini memicu inflasi tinggi dan kurs rupiah melemah tajam,” papar dia.

Ekspor yang lebih dari sisi komoditas migas jadi pemicu lemahnya rupiah. Begitu juga dengan utang valas pada 1997 yang tidak terkontrol. Itu lantaran suku bunga dolar AS murah.

Saat itu, tidak ada Otorias Jasa Keuangan atau OJK di mana perbankan memberikan pinjaman ke grup sendiri dalam denominasi dolar AS. Alhasil, pemerintah tidak tahu berapa eksposur utang dalam dolar AS. “Ada juga utang dolar AS untuk ekspor, di mana kita dapat dolar tapi bayar plus bunga,” tuturnya.

Akibatnya, beberapa pejabat bahkan tidak mengtahui berapa utang dalam denominasi dolar AS saat itu. “Saat meledak krisis moneter pada 1997-1998, rupiah mengalami depresiasi yang sangat dalam,” tuturnya.

Sekarang, kembali ke inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) era Presiden Jokowi sebesar Rp2.350 per liter untuk jenis Pertalite dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 yang diumumkan pada Sabtu (3/9/2022).

Berdasarkan hitung-hitungan CORE Indonesia yang diunggah melalui Instagram @core_indonesia, dengan kenaikan harga BBM Pertalite menjadi Rp10 ribu per liter, inflasi tahunan akan melambung menjadi 7-9%. Ini berada jauh di atas target inflasi tahunan Bank Indonesia (3% +/-1).

Dalam puluhan tahun ke depan, David mengharapkan rupiah tidak kembali melemah ribuan persen seperti 52 tahun terakhir. “Pemerintah harus mengatur utang luar negeri. Jangan selalu tertarik dengan suku bunga murah,” timpal dia.

Ia meminta pemerintah belajar dari momentum saat kurs rupiah dipatok dan pada saat yang sama tidak ada yang memantau. Orang-orang pun berbondong-bondong berutang dolar AS sehingga tidak diketahui berapa jumlah utang luar negeri.

“Sekarang, jika sudah mencapai rasio tertentu terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sudah ada warning sehingga pengambil kebijakan bisa mengerem. Meski belum sempurna, paling tidak ada rambu-rambu,” papar dia.

Begitu juga dengan Undang-undang Keuangan Negara yang membatasi defisit anggaran 3% Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah saat ini berutang dalam rupiah dan dolar AS. Tekanannya bukan hanya dari sektor swata tapi juga pemerintah.

Lalu, ada batas rasio utang 60% PDB, tapi David mewanti-wanti, pemerintah jangan terlena. Sebab, defisit pernah jebol 3% PDB karena pandemi COVID-19. “Ke depan, semoga pemerintah disiplin,” ucapnya.

David berharap, hasil ekspor dapat berkelanjutan (sustainable) menjadi pendapatan valas. “Sehingga, ketersediaan valas di dalam negari memadai,” kata dia.

Selain itu, kata dia, perlu juga didorong LCS alias Letter of Currency Settlement. Dengan kerangka ini, David mencontohkan, jika Thailand, Malaysia, China ingin membeli barang Indonesia, yang digunakan untuk transaksi adalah rupiah. Begitu juga sebaliknya.

“Saat Indonesia beli barang Malaysia juga pakai ringgit. Begitu juga dengan yuan China dan seterusnya. Dengan cara itu, kita tidak overexposure terhadap mata uang tertentu. Apa-apa pakai dolar atau euro. Padahal kita enggak banyak melakukan transaksi dagang dengan mereka,” tukas David.

Di atas semua itu, jika Rezim Jokowi dan rezim-rezim berikutnya gagal mengelola inflasi, prediksi Kwik Kian Gie soal peluang rupiah melemah hingga ribuan persen dalam puluhan tahun mendatang, bisa saja menjadi kenyataan. Jas Merah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button