Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membantah telah membuka ekspor pasir laut dan ekspor yang dibuka adalah sedimen laut. Menurut Jokowi, sedimentasi air laut berbeda dengan pasir laut, meskipun wujud dari sedimentasi itu juga berbentuk pasir.
Nailul Huda menekankan, kerusakan lingkungan yang bisa ditimbulkan dari penambangan pasir laut sangat banyak dan berbahaya, di antaranya erosi pantai, perubahan garis pantai, kualitas air, rusaknya ekosistem laut atau terumbu karang, penurunan hasil tangkapan nelayan, pendapatan nelayan berkurang, dan nelayan menjadi pengangguran. “Sungguh kebijakan yang culas,” kata Nailul Huda dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (18/9/2024).
Ia menyebutkan potensi ekspor pasir laut yang mencapai Rp733 miliar, ada potensi cuan oleh pengusaha yang sangat besar. Namun, potensi pendapatan dari adanya kegiatan ekspor pasir laut sangat kecil, yaitu hanya Rp74 miliar.
“Tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh penambangan pasir laut,” kata Nailul Huda, menegaskan.
Sebelumnya, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menilai dibukanya kembali keran ekspor pasir laut oleh Presiden Jokowi setelah 20 tahun, patut dicurigai oleh publik adanya rente ekonomi yang melatarbelakangi hal ini.
“Publik patut mencurigai, kebijakan buka keran ekspor pasir laut ini berlatar belakang rente ekonomi, yang menguntungkan segelintir oligarki dengan merusak ekosistem laut,” kata Anthony dalam keterangan yang diterima di Jakarta, dikutip Selasa (17/9/2024).
Ia menegaskan, pengerukan pasir laut untuk ekspor dengan alasan mengendalikan dan membersihkan sedimentasi di laut tidak dapat diterima sama sekali. “Alasan ini jelas hanya akal-akalan Jokowi dan para antek oligarkinya, demi meraup untung miliaran dolar, tanpa peduli kerusakan ekosistem dan lingkungan hidup laut,” ujarnya.